Bagian 4

14.6K 423 11
                                    

Hampir semua anak sekolah pasti paling malas dengan hari Senin, aku salah satunya. Salahkan kenapa hari Senin letaknya setelah hari Minggu, hari di mana terdapat jadwal bermalas-malasan seharian. Itu pendapatku. Dan setiap hari Senin pula rutin diadakan upacara bendera, yang susunan upacaranya mungkin sudah dihafal di luar kepala. Seperti sekarang, kami semua tengah dikomando oleh pembina OSIS untuk berbaris karena upacara akan dimulai.

"Semuanya, baris berdasarkan kelasnya masing-masing! Topi dan dasi jangan lupa dipakai!"

Tegas, berwibawa, dan jangan lupakan wajah sangar yang menjadi ciri khas Pak Karto. Inilah yang kami temukan di setiap Senin pagi.

"Tar, lo udah sembuh emang? Kok udah sekolah aja?" bisik Sarah yang berdiri di sampingku.

"Hmm," gumamku

"Duuhh... maafin gue ya, Tar, gara-gara gue lo jadi nggak ikut seleksi ekskul basket, deh."

Aku tersenyum sebagai jawaban bahwa aku sudah memaafkan Sarah.

"Lo nggak marah, kan, sama gue?"

"Enggak, tenang aja. Mungkin bukan rejeki gue di basket," jawabku, masih fokus memperhatikan pembawa acara mulai membacakan susunan upacara.

"Syukur, deh, kalo gitu.''

Kini, pembina upacara mulai masuk ke lapangan. Bukan memperhatikan pembina upacara, pandanganku malah langsung tertuju pada pembawa teks Pancasila di belakangnya. Ahh, ternyata Kak Aldo. Wajahnya datar namun terlihat setenang air mengalir. Jangan lupakan mata cokelatnya yang tersorot sinar matahari, membuatnya tampak indah berkali-kali lipat dari biasanya dan sukses membuatku tak bisa berpaling memandangnya.

Lagi, yang membuatku terkejut adalah saat di mana dia tiba-tiba menatapku balik. Aku sempat salah tingkah. Terlebih ketika dia sedikit tersenyum padaku dan kembali berekspresi datar, semua itu sukses membuat jantungku hampir melorot ke perut. Oke, ini lebay, tapi tak bisa kumungkiri kalau aku ikut tersenyum. Dan untungnya, Sarah tak menyadari perubahan ekspresiku ini.

Aku ingin meralat pernyataanku di awal. Mungkin, mulai sekarang aku suka hari Senin, dan upacara benderanya.

***

"Eh iya, itu ekskul basket bakal ada seleksi susulannya enggak, Tar?" Pertanyaan Risma membuatku berhenti mengunyah batagor kesukaanku.

Kami berempat berada di kantin, mengambil tempat duduk di tengah, jadi siapa pun yang masuk ke kantin ini pasti bisa terlihat dengan jelas. Aku duduk bersebelahan dengan Sarah, sementara Hana dengan Risma.

"Nggak tahu."

"Lo belom coba tanya ke seniornya emang?" Kali ini Sarah yang bertanya.

"Iya, siapa tahu aja ada seleksi susulan," sambung Hana yang duduk berhadapan denganku.

"Ntar gue coba tanyain, deh," jawabku singkat

"Elah, jawabannya gitu banget, Neng. Kayak nggak semangat." Sarah kelihatan kesal.

"Gue kan lagi makan batagor kesukaan gue. Jadi kalian jangan coba ganggu kalo gue lagi makan."

"Idih! Lebay!" ketus Sarah dan diakhiri kekehan kecil.

Aku mengingat lagi perkataan Sarah. Bukan. Bukan yang barusan. Tapi pertanyaan yang mengharuskan aku bertanya pada senior basket apa akan ada seleksi susulan atau tidak. Aku jadi ingat Kak Aldo, dia satu-satunya senior basket yang kutahu.

Sejenak sudut-sudut bibirku terangkat setelah menyadari situasi saat ini. Aku yakin pasti semua peristiwa tidak ada yang kebetulan, semua sudah diatur oleh yang Maha Kuasa, dan pasti ada hikmahnya. Seperti sekarang ini. Saat kukira harapanku sudah pupus terbawa angin, namun, aku merasa seakan kembali ditarik oleh gravitasi bumi untuk mendekat ke arahnya.

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang