Bagian 34

11.2K 392 66
                                    

Suasana hening tercipta di kelasku pagi ini. Semua murid terlihat fokus pada selembar kertas di atas meja masing-masing. Guru Matematika kami mengitari barisan ke barisan meja untuk memastikan bahwa muridnya tidak menyontek saat berlangsungnya ulangan harian kali ini.

Kemendadakan ulangan harian ini membuat sebagian siswa kelasku mendesah karena mendapat soal-soal yang—walaupun kita tahu rumus dan cara mengerjakannya—susah, apalagi saat ini, ketika kita lupa rumus dan cara mengerjakannya seperti apa. Tingkat kesusahannya makin meningkat berkali-kali lipat.

"Tari, apa ada masalah?" tegur guru Matematika saat aku kepergok memperhatikan sekeliling.

Aku tersenyum sambil menggeleng dan kembali fokus ke soal-soal di hadapanku. Beruntung, tadi malam aku sempat membuka buku walaupun sebentar. Awalnya aku hanya memastikan apa ada PR atau tidak, dan ternyata ada. Dan untungnya lagi, ada satu soal yang sama persis dengan PR yang kukerjakan tadi malam. Rezeki anak saleh, batinku.

Aku langsung mengerjakannya dengan semangat. Menuliskan beberapa rumus yang masih kuingat dan memasukkan angka-angka yang menjadi soal tersebut. Akhirnya, satu soal selesai. Masih ada empat soal lagi yang belum terjawab olehku.

Sedikit informasi, setiap dua minggu sekali guru Matematika selalu mengadakan ulangan harian, ditambah seminggu sekali selalu ada kuis. Di mana kami diberikan dua buah pertanyaan yang harus dijawab dengan durasi waktu lima belas menit. Kemudian kami berlomba-lomba maju ke depan untuk menjawab pertanyaan tadi. Jika jawabannya benar, maka siswa yang menjawab tadi akan mendapat poin plus atau nilai tambahan untuk ulangan harian nantinya. Sayangnya, aku belum pernah kebagian. Selalu saja ada yang mendahului.

Seperti hari itu, padahal tinggal satu angka lagi aku menulis jawaban dan bersiap untuk maju dan menulis jawabanku di papan tulis, Amin, dengan santainya berbicara, "Pak, saya sudah selesai." Dan setelah mengatakan itu, Amin dengan percaya dirinya maju ke depan dan mengerjakan soalnya. Aku pun duduk kembali dengan lunglai.

Sekarang hanya ada satu hal yang sedang aku pikirkan, bagaimana nasib nilai ulangan Matematika milikku? Tiba-tiba aku teringat perkataan Risma tempo hari:"Setahu gue, Alder lumayan jago lho, soal Matematika."

Aku langsung melirik Risma. Dia terlihat fokus menulis sesuatu di kertas coretannya.

"Ris," bisikku sepelan mungkin, lalu menyenggol lengannya pelan.

Risma menoleh. "Kenapa?"

"Lo udah diisi semua?"

"Baru tiga, sih. Kenapa emangnya?"

"Barter, dong, gue udah nih nomor empat."

"Satu aja ya, lo mau nomor berapa?"

Aku berpikir sejenak. "Nomor lima, deh."

Risma sedikit menggeser kertas jawabannya padaku, aku langsung menyalin jawabannya. Sebenarnya ini pertama kali aku menyontek ketika ulangan, biasanya, aku selalu mengerjakannya sendiri. Entah itu jawaban hasil imajinasi, yang penting diisi semua dan hasil kerjaku sendiri. Tapi kali ini beda. Ini ulangan dadakan. Tak ada pemberitahuan sebelumnya. Jadi aku tak punya pilihan. Aku yakin, teman-temanku juga melakukan hal yang sama sepertiku, ya kecuali deretan anak-anak "jenius" di kelasku ini, mungkin.

Setelah selesai menyalin jawaban dari Risma, kini giliran Risma yang menyalin jawabanku. Aku menggeser kertas jawaban milikku dan Risma menyalin.

"Ini apaan, sih, Tar? Kecil banget tulisan lo, nggak kebaca nih sama gue," bisik Risma.

Aku melihat tulisan yang ditunjuk Risma. "Ya ampun, itu sin tiga puluh, Ris, jelas gitu kok."

Risma melanjutkan menulis lagi. Aku menoleh ke belakang, memastikan guru Matematika tidak memperhatikan ke arahku dan Risma. Beliau sedang fokus memperhatikan kalender yang tertempel di dinding belakang kelas, dan aku bernapas lega.

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang