Bagian 37

7.5K 321 54
                                    

Rakha mengantarkanku sampai tepat di depan pintu rumah.

"Makasih."

"Sama-sama."

"Mau mampir dulu? Gue buatin teh anget," tawarku, yang masih punya rasa terima kasih pada orang yang telah menolongku.

"Nggak usah, udah malem. Nyokap udah nyuruh gue balik."

"Oh, ya udah kalo gitu. Hati-hati."

Dia tersenyum jail. "Iya, iya, gue bakal hati-hati, kok. Thanks, ya, atas perhatiannya."

"Ya udah, sana, cepet pulang. Malah senyum-senyum nggak jelas gitu." Aku bersiap masuk ke dalam.

"Iya. Good night, Tari," katanya sambil berlalu.

***

"TARI, CEPET TURUN, ADA ALDER DI DEPAN!" Teriakan Ibu sangat menggema.

Aku yang sedang menatap pantulan diri di cermin langsung bergegas mengambil tas dan berlari menuju ruang tamu, di mana Alder tengah duduk di sofa sambil memainkan handphone.

Aku mendekat. "Der."

"Udah siap? Ayo berangkat." Dia langsung berdiri.

"Nggak mau sarapan dulu?"

"Nggak usah, udah tadi. Ya udah, gue mau pamit dulu sama Ibu." Dia menuju dapur dan berpamitan pada Ibu yang sedang memasak. Aku pun mengikutinya dan pamit.

"Tari berangkat dulu, Bu."

"Iya, hati-hati ya."

Aku dan Alder pun berangkat ke sekolah. Ada sedikit perasaan lega menghampiri. Pagi ini, Alder menjemputku, itu tandanya dia sudah tidak marah lagi.

Di perjalanan, walaupun kami berdua hanya diam, tak masalah. Aku menikmatinya. Sangat amat tersiksa jika Alder bersikap seperti kemarin.

Alder tiba-tiba memberhentikan motornya di pinggir jalan.

"Kenapa, Der? Kok berhenti?"

Tanpa menjawab, dia langsung berlari menuju tukang bubur yang berjualan tak jauh dari tempat kami berhenti ini. Aku yang bingung hanya duduk diam di atas motor dan melihat Alder yang rupanya berlari ke arah perempuan berseragam SMA—yang tengah memegangi perutnya entah kenapa.

Aku mempertajam penglihatanku. Tak salah lagi. Itu Deva.

Aku turun dari motor, bersamaan dengan Alder yang menghampiriku dengan Deva yang dia bantu untuk berjalan.

"Deva kenapa?" Aku bertanya. Terlihat sekali Deva kesakitan sambil memegangi perutnya.

"Penyakit lambungnya kambuh, gue harus anter dia ke rumah sakit," jawab Alder.

"Oh, ya—"

"Lo bisa naik angkot nggak ke sekolahnya? Kasian Deva kalo gue harus nganterin lo dulu."

"Iya, gue bisa naik angkot, kok."

Alder memberhentikan angkot yang kebetulan lewat.

"Naik, ntar lo telat."

"Iya." Aku bergegas menuju angkot.

"Tari," panggil Alder begitu aku akan masuk ke dalam angkot.

"Iya?"

"Tolong izinin gue ke guru piket, kalo gue nggak masuk hari ini."

"I-iya."

"Makasih."

Dia membantu Deva agar duduk di motor, dan sedetik kemudian motornya pun melaju.

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang