Si Anjing

138K 7.3K 1.4K
                                    

READY E-BOOK UNTUK YANG PENGEN SAT SET BACA. CHAT WA 087730569894


WARN : BERISIKAN ADEGAN KEKERASAN!

______________________________________

Buaghh!

Seseorang jatuh, di tengah teriakan-teriakan yang mengundang kemarahan. Mulutnya mengeluarkan darah, sedangkan pipi kirinya mulai membiru. Dalam meringis dia mencoba bangkit lagi, sebelum kembali di tonjok dengan lebih kuat. Kini pipi kanannya yang kena. Tak ada yang terlihat perduli, semuanya sibuk dengan lawan masing-masing.

Seorang cowok berperawakan tinggi, berdiri menjulang di depannya. Cowok itu hanya menatap tanpa menunjukkan ekspresi yang berarti. Tangannya yang baru saja ia gunakan untuk menonjok, kini mulai bergerak untuk menarik kerah kemeja korban tonjokan mautnya.

"Babi." ia mengumpat datar.

Buagh!

Lagi, cowok itu melayangkan tinjunya. Tak perduli dengan wajah lawannya itu yang mulai kehilangan bentuk aslinya. Well, lagian mau ditonjok atau pun tidak, wajahnya tidak beda jauh. Tetap jelek.

"Sean Anggara. Lo ketua geng, tapi kok lemah banget?" ucap cowok itu, dingin, sesaat setelah melempar tubuh dalam gengaman tangannyanya, persis seperti sedang melempar kantong sampah. Dia terus menatap tanpa ada rasa kasihan.

Tubuh yang tersungkur itu meringis menahan sakit. Dia mendesis. "Rangga Argian. Gue akuin, lo lumayan kuat." sambil berusaha bangkit lagi, Sean berkata. Dengan wajah penuh lebam, dia kemudian menyeringai. Diam-diam, tangannya meraih sesuatu di belakangnya.

Pergerakan kecil itu tak luput dari penglihatan elang Rangga, si cowok tinggi yang terlihat baik-baik saja tanpa setitik pun luka di tubuhnya. Jadi, ketika Sean tiba-tiba menarik pisau dari belakang tubuhnya,

"Tapi masih kurang 100 tahun bag-urghhh!"

Rangga lebih gesit untuk merebut pisau itu dan dalam sekejap mata, pisau itu sudah tertanam sempurna dari belakang leher sampai menembus ke jakun Sean. Darah bercucuran deras, membasahi bagian depan dan belakang kemejanya.

Sean jatuh, tanpa meninggalkan perkataan yang berarti. Matanya melotot nyaris keluar. Darah segar merembes melalui mulut dan lehernya. Nafas terakhirnya terdengar jelas, menggambarkan kesakitan yang sangat.

"100 tahun? Bullshit." Rangga berbisik. Dia di sana. Berdiri santai, menatap karyanya. Pertama kali ia membunuh anak orang dan dia malah menyeringai tanpa ada perasaan takut sedikit pun.

"KAKAK!!" seseorang dari jauh berteriak kencang. Tak perduli lagi dengan kayu di tangannya yang siap ia layangkan, ia kemudian berlari kencang mendekati tubuh yang sudah penuh dengan darah. Wajahnya memucat, nyaris seperti mayat, apalagi saat ia dapat melihat dengan jelas tubuh kakaknya yang sudah terbujur kaku tanpa adanya tanda-tanda kehidupan. "K-KAKAK!!" teriaknya histeris, sambil berusaha mengguncang tubuh kakaknya, berharap balasan. Raut wajahnya sangat kacau.

"Kakak lo sudah mati."

Pemilik sepasang mata yang sudah dipenuhi genangan cairan bening itu mendongak menatap tubuh yang berdiri menjulang beberapa langkah dari tempatnya. "LO BUNUH KAKAK GUE!" dia meraung tidak terima, dengan air mata yang merembes bak kran air yang menyala.

Rangga tak merespon, sampai sebuah tangan dari belakang menariknya dengan cepat. "Rangga! Ayo kabur cepetan, ada polisi!"

Sesaat setelahnya, sirine mobil polisi terdengar sari kejauhan. Semua anggota kelompok yang sedang tawuran seketika melarikan diri, berusaha untuk tidak tertangkap pihak berwajib.

.

.

.

Brakk!

Sebuah gebrakan meja tak membuat Rangga sedikit pun takut. Dia hanya duduk bersandar tanpa bergeming, sedang pria dewasa di depannya terlihat frustasi dengan wajahnya yang penuh kemarahan.

"Kamu tidak ada kapok-kapoknya membuat masalah!" pria itu berkata tegas. Suaranya memenuhi ruangan yang minimalis itu. "Kamu sadar tidak dengan perbuatanmu, hah?!"

Rangga diam, berpura-pura tuli. Dia terus menatap ujung meja seakan itu adalah sesuatu yang sangat menarik dari semua barang yang ada.

"Tatap ayahmu saat ayah berbicara denganmu!" pinta pria dewasa yang ternyata adalah ayah Rangga itu sambil menunjuk wajah Rangga.

Rangga patuh. Dia mengangkat kepalanya dan menatap pria di depannya yang sedang memakai setelan polisi.

"Kamu sudah membunuh orang, Rangga! Kamu sadar tidak?!"

"Ya, aku tau. Aku juga sadar." Rangga menjawab tanpa minat.

Melihat respon anaknya, pria itu tambah terbakar emosi. Dia tidak pernah mengerti kenapa dia harus membesarkan anak kurang ajar seperti Rangga.

"Kalau sadar, kenapa kamu tetap melakukannya, hah?!"

Rangga menatap sebentar. "Wajahnya kayak minta ditonjok sih." jawabnya asal-asalan.

Ayah Rangga ingin mencungkil mata Rangga sekarang. Untungnya tidak ada obeng di dalam ruangan itu. Rangga masih bisa selamat kali ini.

"Untung ayahmu ini seorang polisi. Kalau tidak, sekarang kamu pasti sudah di penjara, Rangga!"

Rangga membuat pergerakan kecil pada alisnya, menangkap perkataan lucu dari ayahnya yang hebat itu. Rangga tau kalau ayahnya itu polisi. Dengan pangkat yang tinggi pula! Karena alasan itulah, Rangga tak takut. Sekali pun ia tertangkap, ayahnya pasti akan membebaskannya. Rangga kan anak kesayangan. Anaknya satu-satunya.

"Rangga, ayah sudah memutuskan."

Rangga melihat ayahnya yang memijat pelipisnya.

"Kau akan pindah sekolah lagi. Tapi kali ini, jangan berani-beraninya kamu buat onar lagi." ayah Rangga berkata dengan tatapan serius. "Kau ingat Venessa? Hidup Venessa sekarang tergantung padamu."

Rangga mengeratkan rahangnya. Dia tidak menemukan adanya keraguan dalam perkataan ayahnya itu. Ayahnya kali ini sungguh-sungguh.

.

.

.

Rangga menendang tong sampah di sampingnya dengan marah. Isi dari tong sampah itu berserakan di jalan setapak dekat rumahnya, melepaskan berbagai macam bau tak enak yang tercampur asal. Seorang pria yang baru saja ingin menegur, mengurungkan niatnya ketika tau siapa yang akan ia hadapi.

Rangga mendesis, meremas rambutnya dengan kuat. Buku-buku tangannya sampai memutih. Perkataan terakhir dari ayahnya membuat hatinya campur aduk. Akhirnya saat-saat yang tak ingin Rangga temui datang juga. Ayahnya sekarang mengancamnya memakai keselamatan Venessa.

Bangsat!, Rangga mengumpat kasar, lalu bersandar pada sebuah pohon. Rangga tidak mungkin bisa membentak ayahnya kali ini.

Rangga berpikir sejenak. Lalu ia mulai membayangkan keseharian seorang anak alim yang sangat sederhana dan membosankan.

Hn, terserahlah. Lagipula apa susahnya jadi anak alim sebentar saja?

Ah, sepertinya Rangga sudah setuju dengan penawaran ayahnya.

TBC


TROUBLEMAKER ; Rangga Argian [END] [E-Book] [BUKU FISIK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang