Si Nerd

72.5K 4.5K 518
                                    

♡♡♡♡♡

Rangga tak akan lagi membuat masalah. Lihat saja pakaiannya yang sangat rapi itu. Dia bahkan memakai dasi sekolahnya dengan benar! Oh, ayahnya pasti akan membuat acara syukuran jika melihat keadaan anak satu-satunya itu.

Hanya demi Venessa, Rangga bisa melakukannya tanpa harus dipaksa-paksa. Kalau tidak, sekarang Rangga pastinya sudah bolos di hari pertamanya sekolah sebagai anak pindahan.

Rangga mendongak, lalu disambut dengan pemandangan gedung sekolah yang bertingkat-tingkat. Ada lapangan yang luas dan kolam juga. Sekolah barunya ini cukup luas dan mewah. Ayahnya pasti sudah meronggoh kocek cukup dalam demi bisa memasukkan Rangga di sekolah seperti ini. Sejujurnya, menurut Rangga ayahnya hanya membuang-buang uang.

Sekolah barunya ini tempatnya jauh dari sekolah lamanya. Ayahnya sengaja memilih sekolah yang jauh, supaya tak ada seorang pun yang mengenal Rangga, pun sebaliknya. Katakanlah, supaya segala macam aib masa lalu Rangga tak diketahui. Membunuh orang itu aib terbesar Rangga. Kalau ketahuan sih, Rangga tak akan perduli. Sayangnya, tidak bagi ayahnya.

Rangga baru saja mau melangkah melewati sebuah koridor sekolah yang cukup sepi. Awalnya hanya ingin melihat-lihat sekaligus mencari kelasnya. Tapi matanya menangkap beberapa siswa yang wajahnya garang-garang sedang memblokir jalan seorang siswa pendek yang terpojok di dinding.

"Eh, pendek! Lo itu goblok, ya? PR gue salah semua gara-gara lo, njik!" salah satu yang terlihat paling dominan, berkata kasar. Rambutnya dicat merah sebagian dan seragamnya dibiarkan di luar. Sepertinya dia adalah pemimpinnya.

Rangga tak terlalu tertarik dengan pem-bully-an. Tapi entah kenapa ia agak penasaran. Rangga berhenti dan menatap dalam diam. Siswa pendek yang terpojok itu sekarang memasang raut siap untuk menangis.

"GAK PUNYA MULUT LO, HAH?!" si rambut merah berteriak saat mengangkat dagu siswa pendek itu dengan kasar.

"Tonjok aja, Bri!" yang lain berkata, lalu tertawa ala preman pasar.

Si pendek kini benar-benar menangis. Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu, namun terlalu takut.

"A-aku masih kelas sepuluh... b-belum.. hiks.. belajar pelajaran kelas dua belas.." si pendek berkata pelan, nyaris seperti bisikan yang bercampur isakan.

"Lo baru kelas sepuluh?" pemilik tangan yang menahan dagu, bertanya dengan nada polos. Setelahnya, ia diberikan anggukan pelan. "Terus, apa gue keliatan peduli, hah?!" dia membuat si pendek menutup matanya dengan dalam. Sebuah seringai terbentuk, menandakan puas.

Rangga mendengus malas. Dia menyesal telah menghabiskan waktu dua menitnya dengan sia-sia. Rasanya dia baru saja melahap sebuah nasi hambar. Sungguh hiburan yang membosankan.

Ketika acara pembullyan itu belum selesai, Rangga sudah mulai berbalik untuk mencari kelasnya. Namun,

"Woi! Berenti lo!" sebuah suara menghentikan langkah Rangga, lalu si rambut merah menghalangi jalannya.

Rangga menunduk, menyembunyikan wajahnya.

"Eh, lo ngapain tadi liat-liat? Berani banget, lo," orang itu bersuara besar, berdiri dengan satu tangan di saku celana.

Rangga diam, masih menunduk. Dia tak ingin membuat masalah, sebisa mungkin ia menahan dirinya. Kalau saja Rangga tak ingat telah berjanji kepada ayahnya, pasti jalannya akan lebih mudah.

"Lo gak punya punya mulut, ya?!"

"..."

"Tatap gue, goblok!"

Pandangan Rangga tiba-tiba berganti dengan cepat, bersamaan dengan jambakan kuat pada rambut bagian depannya. Rangga dapat merasakan beberapa helai rambutnya tercabut. Rangga berusaha keras menahan amarahnya, dengan tetap diam. Mau tak mau, mereka akhirnya melakukan kontak mata. Tiba-tiba, jambakan pada rambutnya melonggar dan orang itu terlihat bingung. Rangga bisa melihat sedikit rasa waspada dalam tatapan orang itu. Sepertinya, walaupun Rangga sudah mencoba berperilaku sebagai anak alim, namun sorot matanya tak bisa berbohong.

TROUBLEMAKER ; Rangga Argian [END] [E-Book] [BUKU FISIK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang