Si Penguntit

44K 3.3K 390
                                    

♡♡♡♡♡

Ruang kesenian adalah ruang yang jarang sekali dikunjungi maupun dipakai oleh warga sekolah. Selain karena sekolahnya lebih mementingkan bidang olahraga daripada seni, tempatnya yang terpojok juga menjadi penyebabnya.

Rumor mengatakan, ruang kesenian itu ada penunggunya.

Di balik kegelapan ruang itu tersembunyi sosok tinggi besar dengan mata merah menyala. Kukunya panjang bergerigi. Rambutnya yang tak terurus, menjuntai sampai menyapu lantai. Dia suka menculik anak-anak dan menyembunyikannya di balik payudaranya yang montok-

-Stop.

Rangga tak peduli dengan rumor itu. Iyok saja yang terlalu percaya dan melarangnya pergi ke ruang kesenian. Kalau pun memang ada penunggunya, penunggu itu pasti sedang menunggu kedatangannya sekarang. Ya, siapa lagi kalau bukan si rambut merah?

Begitu Rangga masuk, bau barang-barang lama yang berdebu menyambut indra penciumannya. Tempat itu tak terlalu menyeramkan baginya. Mungkin karena sepi, makanya terkesan horor.

Ruang kesenian itu tak terlalu besar, namun juga tak terlalu kecil. Jadi, begitu Rangga masuk, ia langsung menemukan punggung seseorang yang sedang bermain-main dengan salah satu karya seni yang dipahat.

"Udah dateng ternyata," ucap sosok itu, yang jelas Rangga kenal sebagai Brian.

Rangga hanya diam, memperhatikan sekitar. Sepertinya hanya ada Brian di sini. Mungkin Brian sudah menyuruh teman-temannya untuk pulang duluan? Hn.. Baguslah! Dengan begini, Rangga bisa sedikit leluasa jika Brian akan berbuat sesuatu.

"Gue ajak lo kemari cuman buat ngobrol, kok," ucap Brian sambil berbalik. "Jadi, entah kenapa gue ngerasa makin ke sini lo makin kurang ajar."

Rangga diam di tempat, sementara Brian melangkah pelan menuju ke arahnya. Jujur, Rangga tak mengerti dengan maksud dari ucapan Brian.

"Siapa yang ngijinin lo deket-deket sama Nora?"

Oh, ternyata tentang si cabe itu.

"Lo udah ngerasa paling ganteng, gitu? Jagoan?"

Brian makin mendekat.

Rangga sangat tak suka berkelahi karena cewek. Itu sama sekali bukan dirinya. Apalagi di sini Rangga tak salah apa-apa. Nora yang mendekatinya.

Lagian, kenapa Brian sampai segitu sukanya sama Nora? Kenapa selera Brian rendah sekali? Rangga turut prihatin. Dia kasihan pada Brian.

"Gue gak deketin Nora, kok," ucap Rangga, datar. Lalu, mimik wajahnya berubah mengejek. "Selera gue gak serendah itu, kok."

Sebuah kepalan tangan melayang menuju wajah Rangga. Namun sebelum mengenai wajah Rangga, Rangga lebih dulu menahan lengan itu.

Tak menyerah, Brian langsung melayangkan tinju yang lain dari sisi lainnya. Sekali lagi, Rangga dapat menahannya. Brian menggertakan giginya dengan marah.

Brian begitu bodoh. Rangga jadi begitu ingin menyadarkan Brian. Ia menahan lengan Brian yang masih berusaha untuk menonjok pipinya, dengan remasan kuat.

Brian kemudian menghempaskan kedua tangannya sehingga terlepas dari cengkraman tangan Rangga. Begitu ingin melayangkan tinjunya, tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke samping.

Rangga baru saja mendahuluinya dalam melayangkan tinju. Rangga sekarang makin ingin memberi Brian pelajaran penting yang tak akan dapat ia lupakan.

Sebelum Brian sempat berdiri tegak, Rangga mendorong Brian sampai punggungnya bersandar di dinding. Bunyi gedebuk samar terdengar karena gaya dorong yang Rangga buat.

TROUBLEMAKER ; Rangga Argian [END] [E-Book] [BUKU FISIK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang