Si Laknat

49.4K 3.8K 601
                                    

* * * * * *

"AKHH!! SAKIT, NJIK!!"

Brian berteriak, begitu Rangga menekan salah satu lebam di wajahnya dengan kain yg isinya es batu yang telah hancur. Brian seketika menjauhkan diri, sementara tangannya menahan lengan Rangga.

Rangga mengangkat sebelah alis. "Sakit? Gue pernah digebukin sampe biru-biru, tapi gak teriak sakit kayak lo, deh,"

Brian mendelik. "Mau gue gebukin lagi?"

"Nanti aja, kalo lebam lo uda sembuh," ujar Rangga, datar.

"Gue lebih tua dari lo! Panggil gue 'kakak'!"

Rangga menghela napas. Beberapa saat kemudian, perlahan bibir tipisnya mulai membuat lengkungan. Rangga tersenyum. Senyuman lembut dengan tatapan sendu. Dengan suara halus, Rangga berucap. "Kak Brian, tolong tenang. Lebamnya nanti tambah parah."

Sungguh, tersenyum seperti ini adalah hal yang sangat jarang Rangga lakukan. Bukan karena sombong. Namun, menurut Rangga tersenyum adalah hal yang merepotkan. Rangga ingat, pernah tersenyum pada gerombolan perempuan, dan seketika itu mereka pingsan tanpa sebab. Rangga pun dituduh pelaku atas pingsannya mereka.

Lihat saja sekarang! Rangga berhasil membuat Brian terdiam kebingungan, tampak sedang mencerna sesuatu yang tak ia mengerti. Rangga memanfaatkan keadaan itu untuk menekan lebam yang ada di pipi Brian. Brian mendesis, menahan sakit.

Jarak antara wajah Rangga dan Brian begitu dekat. Dengan hati-hati Rangga menggerakkan tangannya. Tak seperti tadi, Brian sekarang jadi diam.

Iseng, Rangga melirik. Iris hitam kecoklatan bertemu abu-abu. Begitu dekat, membuat waktu seolah bejalan lambat. Pandangan mereka tertahan, nyaris tak ada yang berkedip.

Hanya wajah Brian yang memenuhi pandangan Rangga, begitu pun sebaliknya.

Entah sudah berapa lama, Brian yang tiba-tiba sadar dari posisinya, berdehem. Ia memutuskan pandangannya. "Gak usah repot, gue aja!" Brian berkata ketus, dengah wajah yang samar-samar memperlihatkan semburat merah. Ia merampas apa yang dipegang Rangga, lalu mulai merawat lebamnya sendiri.

"Oh, oke."

Rangga bergeser dari dekat Brian. Ia duduk di ujung sofa panjang, namun tetap tak mengalihkan tatapannya dari Brian.

Brian menggerakkan tangannya dengan canggung sekali. Wajahnya yang cemberut marah, bukan membuatnya terlihat menyeramkan, malah sebaliknya.

Rangga tak tau. Tapi sepertinya Rangga tertarik dengan Brian.

Keheningan kembali menyapa. Lalu Brian tampak gelisah. Dari wajahnya terlihat kalau ia sedang memikirkan sesuatu. Ia juga sepertinya ingin mengucapkan sesua-

"Terima kasih."

Kata-kata itu keluar dari bibir Brian dengan begitu cepat.

"Apa? Gue gak denger," Rangga mengerutkan alisnya. Ia sebenarnya sudah tau apa yang Brian ucapkan barusan. Ia hanya pura-pura tak dengar saja, agar Brian bisa mengatakannya lagi.

Wajah Brian berubah merah, seakan-akan sebentar lagi akan ada asap yang keluar dari kedua lubang telinganya.

"Gak ada pemutaran kembali, dasar tuli!"

.

.

Sudah setengah jam berlalu, namun hujan bukannya berhenti, malah makin deras. Rangga dan Brian hanya duduk-duduk diam. Tak ada ngobrol-ngobrol ataupun berinisiatif untuk menyalakan tv.

Tiba-tiba sebuah pertanyaan singgah di kepala Rangga. "Ngomong-ngomong, kenapa lo sampe pingsan sendirian tadi?"

Brian yang bengong, langsung menoleh. "Hah?"

TROUBLEMAKER ; Rangga Argian [END] [E-Book] [BUKU FISIK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang