TIGA : Araluna Effendi

95.8K 9.3K 333
                                    

Matahari yang belum terbit sepenuhnya malah memacu Luna untuk berlari lebih cepat lagi, kakinya yang kencang bergerak cepat menapaki jalanan yang masih cukup sepi karena waktu masih menunjukkan pukul enam pagi.

Keringat yang menetes di pelipis Luna abaikan, membiarkan tubuhnya basah oleh keringat adalah rutinitasnya setiap pagi.

Berlari pagi seperti ini memang kebiasaan Luna sejak SMP, sehingga ia tak perlu bersusah payah untuk sekadar bangun, mempersiapkan diri lalu mulai menarik napas segar dan menjalani kegiatan yang sebenarnya lebih Luna jadikan sebagai sarana penyalur emosi.

Luna memang emosional. Selain ia gampang naik darah, perangainya yang terkadang moody membuatnya merasa perlu untuk menyalurkan emosinya ke kegiatan yang lebih positif.

Karena ia tidak pandai bernyanyi ataupun bergerak luwes mengikuti hentakan musik, Luna memilih olahraha sebagai solusinya. Asal kalian tahu, Luna adalah atlet taekwondo yang membanggakan dengan sering menjuarai kompetisi antar siswa.

Napasnya terengah-engah ketika Luna sampai di depan gerbang rumahnya sendiri yang tinggi dan berwarna hitam. Kepalanya menoleh sebentar ke arah rumah Mario yang cerah dengan cat rumah berwarna putih dan biru, lalu beralih ke rumah Gisel yang kokoh dan elegan berwarna putih lalu aksen emas di beberapa bagiannya.

Mereka pasti masih bersiap-siap, atau bahkan belum bangun sama sekali? Entahlah, karena kemarin mereka tidak menginap lagi di rumah Gisel seperti biasanya.

Dengan langkah gontai Luna masuk ke dalam rumah, keadaan di sana juga masih sepi. Karena sarapan biasanya dihidangkan saat jam enam lebih sedikit. Hanya ibunya yang tampak sibuk memasak di dapur.

"Udah lari paginya?" Luna menoleh dan tersenyum samar. "Udah."

Intan menatap anak dari suami pertamanya dengan sayang. "Mau nyoba kue buatan Mama nggak? Rasanya​ cokelat kesukaan kamu lho."

Luna melirik meja makan sekilas. "Boleh."

Intan menyodorkan piring kecil dengan potongan kue cokelat di atasnya. "Mama tau ini masih terlalu pagi buat makan kue, tapi sekali-sekali nggak papa lah."

Luna terkekeh lalu mulai memotong kuenya dengan sendok, memasukan makanan berkrim manis ke dalam mulutnya dengan lahap.

"Pagi." Luna tersentak sesaat ketika Ryan, suami ibunya yang kini menyapa mereka. Entahlah, Luna selalu merasa terkejut jika mendengar suara berat terdengar dari arah belakang. Hal itu selalu sukses membuatnya takut.

"Pagi-pagi kok sudah makan kue," canda Ryan setelah meminum segelas air putih.

"Aku yang kasih."

"Dia kan habis olahraga, harusnya dia minum air putih yang banyak. Biar seger lagi." Intan kini menyodorkan segelas air putih hangat, Luna menerimanya dengan kaku.

"Makasih Ma." Ryan hendak menepuk pundak Luna ketika gadis itu bangkit dan segera pergi ke lantai​ atas menuju kamarnya.

"Luna masih kayak gitu ya?"

Intan mengangguk kecil. "Mungkin, kayaknya dia masih bersikap skeptis ke laki-laki yang berinteraksi sama dia."

"Tapi ada satu orang yang kayaknya deket, malah sering rangkul-rangkul dia."

Intan menaikkan sebelah alisnya, lalu mulai menata makanan di atas meja makan. "Yang mana?"

"Itu loh, tetangga kita. Yang anaknya murah senyum terus kakaknya tiga."

"Oh Mario."

"Iya dia."

"Mereka kan emang sahabatan dari kecil." Ryan hanya mengangguk paham.

***

Setelah memasukkan bekal makan siangnya ke dalam tas, Luna mengayuh sepedanya menuju sekolah.

Mario, Luna dan Gisel memang jarang berangkat bersama. Kecuali di sekolah ada acara atau janjian terlebih dahulu.

Mario yang lebih suka naik angkutan umum karena ingin cuci mata dengan melihat-lihat penumpang yang lain, Gisel yang selalu di antar jemput naik mobil dan ia yang lebih suka mengeluarkan tenaganya untuk bersepeda.

Ketiganya dulu sempat mencoba bersama-sama berangkat dengan cara seperti yang Luna lakukan, tetapi mereka kapok. Dikarenakan Gisel yang mudah kelelahan dan harus berhenti setiap beberapa menit.

Di jalan menuju ke sekolah Luna sesekali membalas sapaan teman-teman satu sekolahnya hanya dengan sebuah senyuman. Bukan karena ia sombong, tetapi Luna memang tipe orang yang agak tertutup jika berinteraksi dengan seseorang yang belum begitu dikenalnya. Jika berhadapan dengan Mario dan Gisel lain lagi, ia akan merasa bebas melakukan apapun.

Luna bahkan ingat beberapa kelakuan tak tahu malu yang dilakukan mereka bertiga. Seperti Mario yang hanya mengenakan celana pendek dan tanpa atasan saat menginap, padahal Luna maupun Gisel sudah mencibir kalau tubuh Mario yang kerempeng tidak pantas dipamerkan.

Lalu Gisel yang sering sembarangan ngupil lalu mengusapkannya di pakaian Mario atau Luna. Jika dimarahi atau mendapat protes Gisel hanya akan nyengir seolah tak berdosa.

Lalu dirinya sendiri, Luna sering bernyanyi tidak menentu bak penyanyi kamar mandi. Walaupun suaranya tidak enak didengar, ia tetap melantunkan lagu-lagu bernada tinggi dan sulit milik penyanyi sekelas Beyonce atau Mariah Carey. Mario sering berkelakar jika ia adalah seorang pesulap, maka orang pertama yang akan ia hilangkan adalah Luna yang sedang bernyanyi. Terlalu berisik.

Luna tersenyum, mengingat bagaimana persahabatan mereka terjalin memang selalu bisa mengembalikan mood-nya yang tidak menentu.

"Oi Luna! Pulang sekolah jangan lupa latihan!" Itulah hal pertama yang Luna dengar ketika ia sampai di parkiran sekolah. Ternyata itu Dito, teman satu ekstrakulikulernya yang berambut cepak.

Luna mengacungkan ibu jarinya tanda ia mengerti dan menyanggupi ucapan Dito.

"Hai." Luna menoleh dan tersenyum tipis ketikan melihat Agnes, siswi manis dengan jepit rambut merah muda di rambutnya yang sebahu.

"Hai."

"Mana yang lain? Biasanya suka sama mereka berdua." Luna mengerti maksud Agnes dengan mereka. Siapa lagi kalau bukan Mario dan Gisel.

Luna menangkap sosok orang yang baru saja disebutnya dalam hati.

"Gue duluan ya." Luna menyisir rambutnya dengan tangan, melangkah setelah tersenyum ke arah Agnes. Tetapi baru tiga langkah ia berjalan, Luna kembali menoleh dan tersenyum.

"Agnes."

Agnes memiringkan kepalanya. "Ya?"

"Jepit rambutnya bagus, lo cantik."

Agnes tersenyum. "Thanks."

Luna berbalik kembali dan berjalan cepat atau lebih pantas disebut berlari lalu menepuk pundak Mario dengan keras.

"Buset dah! Pagi-pagi gini udah bikin kaget." Mario mendengus. Tetapi kemudian merangkul Luna sehingga ia merangkul dua siswi sekalipun, Gisel di kanan dan Luna di kiri.

Beberapa siswa lain sudah terbiasa dengan hal itu, meskipun beberapa di antara mereka masih ada yang suka menggoda ketiganya.

"Senangnya dalam hati, kalau beristri dua!"

"Asyiknya dunia."

"Mario playboy cap kutukupret."

Dasar.

***

A/n : selanjutnya tentang Gisela Dewi Anggraeni

Keep waiting yo:)

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang