"Kenapa sih lo jadi gini, Van?" Gisel bertanya lelah, dengan suara yang lemah dan seakan tak bertenaga. Selain karena kondisinya yang memang sedang sakit, sejuta pertanyaan yang bermunculan di kepala membuat suara Gisel seakan hendak hilang karena ditiup angin.
Revano mengembuskan napas pelan, wajahnya yang tampan tanpa cacat tampak frustasi. "Gue sayang sama Mario, kalo itu yang lo pertanyakan."
"Revano, yang gue tanyakan itu kenapa lo jadi hombreng kayak gini? Kok bisa, sih? Lo cakep loh, cewek manapun juga mau kalo lo gebet."
"Gue juga nggak ngerti pas liat Mario, gue langsung suka. Senyuman dia bikin gue tenang. That's it. Cuma itu, apa harus ada alasan lagi?"
Gisel membuang muka sejenak, lalu kembali memandang Revano yang masih memasang ekspresi serius. "Apa ini karena mantan lo yang cewek nyakitin lo?"
Rahang Revano mengeras, ia tidak menjawab.
"Apa karena hubungan kita dulu?"
Revano segera menggeleng. "Jangan kegeeran, lo sendiri tau yang sebenarnya terjadi tentang hubungan kita. Dulu."
Gisel menyelipkan anak rambutnya di telinga, menatap nanar Revano. Cowok yang pernah singgah dan menjadi pemilik hatinya dulu, dulu sekali.
"Ya, gue tau. Bahkan gue tau banget, rasa sakitnya itu masih ada, Van."
Revano memejamkan mata, mencoba menentramkan hati di mana segala perasaan campur aduk di sana. Mulai dari marah, menyesal, sedih hingga bingung.
"Bukan itu, Gisel. Bukan tentang kita dulu."
"Terus kenapa? Kenapa lo jadi belok kayak gini? Kalo boleh jujur, lo masih punya kepingan hati gue, Van. Lo masih punya tempat di sini." Gisel menunjuk dadanya sendiri, "tapi kelakuan lo dulu juga nggak mungkin gue maafin dengan mudah."
Gisel benci. Benci ketika mengingat saat-saat itu, di mana dia merasa bodoh harus mempercayai sepenuhnya yang berakhir dengan kekecewaan yang tiada akhir.
Gisel benci.
Ketika seseorang datang hanya untuk membuat luka, lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa seolah tak punya dosa.
"Maaf," ucap Revano pelan.
"Sekali lagi gue tanya, Revano. Kenapa lo jadi nggak normal? Setau gue, lo selalu suka cewek cantik dan bahkan nggak ragu buat nembak mereka kalo emang lo suka. Terus kenapa harus Mario? Sahabat gue?"
Revano menengadah, menatap langit-langit kamar dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. "Gue nggak tau, Gisel. Gue nggak tau! Perasaan itu ada ketika gue liat Mario senyum, seakan gue pengen ngelindungin dia, selalu ada buat dia, selalu ...."
Suara Revano habis di ujung kalimatnya.
Gisel mengulurkan tangannya yang kurus untuk menggenggam tangan Revano yang kini kecokelatan karena sering terkena sinar matahari.
"Lo harus jelasin ke gue kenapa lo jadi kayak gini, Revano."
Revano menunduk menatap genggaman tangan mereka berdua, ia tiba-tiba mengernyit bingung. "Lo sebenernya sakit apa, Sel? Kenapa tangan lo kurus banget?"
Gisel menggeleng, ia kemudian mengembalikan topik pembicaraan. "Kenapa lo jadi suka sesama cowok, Revano? Please jawab gue."
Revano tidak menjawab, ia tetap menunduk.
"Van," panggil Gisel, tangannya mengangkat dagu cowok itu hingga mereka saling bertatap muka.
Gisel sempat terkejut ketika terlihat ekspresi kesedihan yang mendalam di wajah Revano yang tak tercela, tampak sendu dan mengibakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight
Roman pour Adolescents[ SELESAI ] Ini tentang mereka bertiga. Mario, Gisel dan Luna. Ini tentang mereka bertiga. Yang diam-diam menyimpan rahasia, yang diam-diam menahan sakit yang ada, yang merasa lelah raga. Ini tentang mereka bertiga. Bagaimana persahabatan mewarnai h...