TIGA PULUH TUJUH : Worst Night [1]

47.9K 6.2K 344
                                    

Ketika ayahnya memberi tahu bahwa ibunya akan pulang ke rumah malam itu, Gisel mencoba berpenampilan terbaik yang ia bisa. Jujur, Gisel lebih gugup untuk bertemu dengan ibunya nanti dibandingkan ketika pergi ke toko buku bersama Kevan dulu, atau bahkan kencan pertamanya dengan Revano.

Ini karena ia dan ibunya sangat jarang bertemu, mungkin bisa dihitung jari, itupun dalam kurun waktu satu tahun. Rasa rindunya sedemikian besar, karena bagaimanapun juga seorang anak pasti ingin dekat-dekat dengan ibunya.

Terutama ketika Gisel sakit, satu-satunya yang ia inginkan adalah kehadiran seorang ibu di sisinya. Tetapi dia tidak pernah ada, sebuah kenyataan pahit yang harus diterima Gisel dengan lapang dada.

Cermin besar di kamar itu menjadi saksi bagaimana Gisel begitu repot mencoba satu-persatu pakaian di lemarinya. Memakai kaus ini, kemeja itu, jaket ini, rok itu, celana ini, gaun itu.

Hingga akhirnya, Gisel memilih mengenakan pakaian yang tidak terlalu formal ataupun santai, toh ini hanya untuk makan malam bersama orang tuanya. Gisel mengenakan kaus hitam polos berlengan panjang, rok selutut berwarna serupa, lalu tak lupa jaket jeans biru yang mempercantik penampilannya.

Sebagai sentuhan terakhir, ia mengalungkan liontin di lehernya. Gisel tersenyum pada bayangannya sendiri di cermin, berharap bahwa makan malam nanti akan berlangsung menyenangkan.

Bersamaan dengan langkah pertamanya di lantai satu, Hana, ibu Gisel keluar dari dapur dengan segelas air putih di tangan. Dia selalu terlihat lebih muda daripada usia aslinya karena semangat yang tinggi, tak lupa berbagai perawatan yang menunjang pekerjaannya sebagai salah satu direktur di perusahaan penerbitan kenamaan di Indonesia.

"Hai, Ma," sapa Gisel dengan mata berbinar, senyum senang mengembang dengan sendirinya.

"Hai," balas Hana sembari memeluk anak semata wayangnya itu. "Maafin Mama yang jarang ada di rumah, ya."

"Iya nggak papa."

Bohong, tentu saja Gisel menginginkan ibunya selalu ada di rumah. Menyiapkan sarapan, membantunya mengerjakan PR hingga berjalan-jalan berkeliling komplek.

"Mama belum ganti baju buat makan malam, kita akan makan di luar. Hitung-hitung family time yang jarang banget kita lakuin."

Gisel mengangguk, melihat Hana yang melangkah menuju kamar orang tuanya. Ia beralih menuju ruang tengah, duduk di sana dan membuka grup chat yang berisi ia, Luna dan Mario.

Mario : Oy oy yang mau dinner sama bokap nyokap, kirimin dikit makanannya nanti ya hehe.

Luna : awas jangan sampe masuk angin.

Gisel : nanti tulang ayam aja ya, Mar.
Gue kan naik mobil nanti, Na.

Mario : Oh iya lupa.
Gisel, jaga kesehatan pake jaket biar nggak masuk angin banyak minum air putih tapi jangab kebanyakan juga nanti kencing terus makan yang bener jangan junk food biar sehat baek-baek sama orang tua lo jangan ambekan jangan sok kalem nyablak aja kayak biasanya pokoknya gitu.

Gisel terkekeh ketika membaca pesan panjang yang dikirimkan Mario, dia memang selalu heboh sendiri. Bahkan di pesan itu dia sampai tidak memakai tanda baca koma dan titik dengan benar saking rusuhnya.

Gisel : iya-iya Mario bawel.

"Ayo, sayang."

Gisel mendongak, menatap ayahnya yang juga menatapnya dengan mata kehijauan yang juga dia miliki. Gisel tahu matanya merupakan turunan ayahnya, sedangkan bentuk wajah cenderung mengikuti sang ibu.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang