LIMA : Bekal Untuk Kevan

80.2K 8.5K 532
                                        

"Jadi rencana lo sekarang mau bikin apa?" tanya Luna sambil bermain-main dengan sendok di dapur.

"Roti bakar penuh cinta." Balasan Gisel langsung membuat Luna dan Mario mengernyit.

"Jijik anjir."

"Alay lu."

"Lah gue jawab malah kayak gitu responnya, heran deh gue."

Mario mendengus dan menggigit apel yang baru ia ambil dari dalam lemari pendingin. "Lo ngasihnya nanti gimana? Langsung?"

Bukannya mendapat respon dari Gisel, Mario malah mengaduh karena Luna memukul kepalanya dengan sendok yang sedari tadi ia mainkan. "Kalo ngasih langsung bukan secret admirer namanya bego."

Mario mengusap-usap kepalanya. "Sakit Luna! Heran gue, jadi cewek kok galak amat."

Gisel hanya terkekeh sembari mengoleskan selai stroberi pada lapisan atas roti.

Mereka berencana untuk berangkat ke sekolah bersama Selasa itu, dengan menaiki mobil pribadi yang dikemudikan Mang Irman, sopir Gisel.

"Luna, mending gue simpen ini bekal di mana ya? Loker dia atau ke kelas dia?"

"Mending ke loker deh, Kevan sama kita kan beda kelas, ribet kalo ada yang tau." Gisel mengangguk penuh semangat. "Oke."

"Spesialnya Kevan di mata elo apaan sih Sel?" tanya Mario iseng yang kini sedang membaca pesan dari seseorang.

"Dia pinter, cakep, jago main basket, badannya juga 'pelukable' haha." Gisel tertawa karena istilah yang ia pakai ,"dan dia normal."

Bukannya kesal, Mario malah berkacak pinggang sambil nyengir. "Lo nyindir gue sama Luna?"

"Itu nyadar." Gisel menjulurkan lidahnya dengan maksud mengejek.

"Bentar-bentar." Luna mengangkat tangannya dengan maksud ingin diperhatikan. "Lupain dulu masalah normal enggak normal. Gisel, lo mau simpen di mana bekal bikinan lo itu? Kalo surat sih gampang tinggal diselipin juga masuk ke loker."

Gisel mengernyitkan dahi. "Iya juga ya."

"Lo gantungin aja di pegangan buat buka lokernya, tapi sebelum itu lo nulis surat terus selipin ke dalam loker," usul Mario yang berhasil membuat Luna memukulnya. Bukan karena kesal, tetapi senang. "Nah bener! Tumben lu pinter."

"Sialan." Mario mendengus. Sekesal apapun ia kepada Luna yang sangat sering memukulnya tanpa sebab, Mario tidak akan pernah bisa merasa benci. Karena ia menyayangi Luna, tentu. Terkadang cewek itu disebutnya 'Luna tersayang'. Begitu juga dengan Gisel, sepedas apapun sindiran yang cewek itu berikan Mario tidak akan pernah marah.

"Mau berangkat sekarang? Mumpung masih jam enam lebih dikit, sekolah pasti masih sepi." Baik Luna maupun Mario mengangguk mendengar ucapan Gisel.

"Semoga berhasil."

"Semoga Kevan nggak ngerasa risi," gumam Gisel sambil memasukan kotak bekalnya​ kedalam tas.

"Tunggu apaan lagi? Ayo berangkat!" Mario menarik Luna dan​ Gisel menuju bagian depan rumah Gisel, di mana Mang Irman sudah bersiap-siap sedari tadi.

***

"Lokernya Kevan yang mana?" Ketiganya celingak-celinguk di koridor sekolah yang masih sepi, mencoba mencari loker milik cowok yang disukai Gisel dari sekian banyak loker yang kelihatan sama saja​ semuanya.

"Yang deket belokan kelas X IPS, paling ujung pokoknya." Gisel berjalan dengan berjinjit seolah langkahnya akan terdengar sampai radius 10 kilometer.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang