DUA PULUH ENAM : Hari Senin

54.7K 6.1K 176
                                    

Mario mendelik, matanya menatap tajam ke arah Gisel yang masih terbaring di atas tempat tidur. Wajah cewek itu kucel, rambut berantakan, rona pipinya juga nyaris tidak ada. Gisel masih merasa belum sehat untuk sekolah, dan Mario sudah dalam posisi untuk mengomel panjang lebar.

"Masih belum siap sekolah? Masih belum sehat?"

Nada bicara Mario aneh, seperti yang akan dikatakan selanjutnya adalah : masih tak bertenaga? Kami punya solusinya! Obat herbal dari pegunungan himalaya yang ditanam memakai pupuk kuda nil dan berkhasiat mengembalikan segala penyakit.

Cowok itu berkacak pinggang, wajahnya yang tergolong manis untuk ukuran laki-laki tampak membesar akibat pipinya menggembung. Luna dengan iseng menampar pelan pipi Mario itu.

"Ya Gisel tinggal istirahat lah, Mar. Jangan sekolah."

Mario berdecak dan mengelus pipinya yang ditampar Luna. "Ih! Luna! Sakit tau! Kebiasaan gue suka disiksa kayak gini, namanya KDPH! Kekerasan dalam persahabatan!"

"Lebay," cibir Luna. Ia memilih melangkahkan kaki untuk menghampiri tempat tidur Gisel lebih dekat, menaikkan selimut hingga ke batas dagu Gisel. "Lo sih, sehat dong biar Mario nggak ngomel mulu. Berisik."

"Gue ngomel juga ada benernya, Luna. Gisel belum sembuh juga gara-gara pas kemarin istirahat malah main hape. Bukannya tidur, bukannya istirahat, bukannya bobo cantik. Malah kirim-kirim pesan sama Kevan, ya iyalah mata dia natap layar ponsel terus, pusing deh akhirnya. Mungkin ponsel Gisel kudu gue sita dulu."

"Jangan lah!"

"Tuh kan! Atau sekarang gini aja, lo istirahat yang bener tapi, terus nanti gue bakal ngomong sama Kevan."

"Ngomong apaan?" Gisel mengernyit tidak mengerti, ia duduk dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya​.

"Gue mau ngomong sama Kevan soal dia nggak boleh chat lo dulu, biarin lo istirahat."

"Ih jangan, pesan dari Kevan itu penyemangat gue tau."

Mario melotot. "Penyemangat apaan? Yang ada lo malah melek terus. Ujung-ujungnya sakit lagi kan?"

Luna yang tidak lagi terlibat dalam perdebatan itu hanya mengembuskan napas perlahan, pasrah saja jika dua sahabatnya sudah adu mulut yang sulit berhenti sebelum ada satu di antaranya mereka yang mengalah. Sayang sekali baik Mario maupun Gisel termasuk orang yang keras kepala.

Apalagi kalau Mario sudah dalam mode ibu-ibu seperti sekarang ini.

Mario bisa lebih cerewet dari emak-emak sen kiri belok kanan, lebih galak dari cewek PMS, ataupun lebih sangar dari preman Tanah Abang kalau diperlukan. Ketiga sifat nyeleneh itu sering keluar kalau berurusan dengan sahabat-sahabatnya. Apalagi jika Luna maupun Gisel sudah diganggu cowok, Mario tak akan segan memukul si cowok itu hingga babak belur.

Dan Gisel, kadang-kadang dia keras kepala sekali. Sulit mematahkan apa pendapatnya akan sesuatu. Tetapi Gisel juga tak ragu untuk mengalah demi orang lain.

"Makanya mending sekarang hape lo gue bawa."

Mario mengambil ponsel di nakas, tetapi Gisel menjerit dan mengambil kembali ponselnya. "Enggak mau!"

"Gue bawa!"

"Enggak!"

"Bawa!"

"Enggak!"

"Bawa!"

"Enggak!"

Seruan-seruan itu berhenti ketika Luna memukul kepala Mario dan menjambak rambut Gisel, kompak mereka mengaduh kesakitan.

"Bisa berhenti nggak sih?! Mario, kita bakalan telat sekolah kalo kalian ribut terus. Buruan ah! Dan Gisel, lo istirahat! Jangan mainan hp, awas aja kalo nggak nurut sama gue. Oke, kita berangkat."

"Iya-iya." Gisel menyisir rambutnya sendiri, menjulurkan lidah mengejek ke arah Mario dan kembali berbaring sembari menyimpan lagi ponselnya di atas nakas dengan senyum penuh kemenangan.

"Sakit, Luna. Lo enak banget gitu ya pukul-pukul kepala orang."

"Enak lah, apalagi kepala cowok homo kayak lo."

Mario mendelik, menjambak rambut Luna yang diikat. "Mentang-mentang bentar lagi mau lurus, Raja gue embat baru tau rasa."

Luna malah tertawa, tertawa meremehkan. "Maaf lah ya, Raja itu cowok yang seratus persen normal. Suka cewek, bukan cowok yang kayak cewek atau Mario Adhiwijaya."

"Siapa yang tau? Pas gue ngomong Revano belok lo sama Gisel juga kaget kan?" sengit Mario tak mau kalah.

Luna mengangkat bahu dan membuka pintu rumah Gisel hendak keluar. "Udah deh ya, gue nggak mau ngomongin hubungan percintaan dulu. Sekarang waktunya sekolah, nuntut ilmu."

Mario menutup pintu yang dibiarkan terbuka begitu saja oleh Luna. "Kasian amat si Ilmu nggak punya salah apa-apa dituntut."

"Nuntut ilmu itu belajar, Mario. Masa begituan aja nggak tau?"

Luna segera menghampiri sepedanya, tetapi Mario menggeleng beberapa kali dan duduk di sana, sedangkan Luna mengalah dan memilih jadi orang yang dibonceng saja.

"Lo nanti ada janji sama Raja nggak?" tanya Mario ketika sudah mengayuh menjauhi halaman rumah Gisel.

"Ada."

"Awas aja kalo lo sampe lupa sama gue sama Gisel."

"Ya nggak lah."

"Makin lengket lo sama dia, Na. Kemarin lo ke mana sama si tiang bendera itu?"

"Naik rollercoaster."

"Kok nggak ajak-ajak gue?"

"Ngapain gue ajak-ajak lo? Bukannya lo takut naek gituan?"

"Kan masih bisa naek yang lain, bianglala kek, apa kek."

"Kan bisa sama Revano."

"Gue lagi ngambekan sama dia."

Kentara sekali bahwa hal itu benar, Mario bahkan tidak menyebut nama Revano atau Vano seperti biasanya.

"Kok bisa?"

"Soalnya pas gue sama Revano jalan, kita ketemu Adnan. Lo tau sendiri gimana mulutnya itu cowok."

"Pantesan, ketemu mantan saat jalan sangat tidak menguntungkan untuk hubungan di masa depan."

Mario malah nyengir, sedikit mengurangi kecepatan ketika berbelok. "Bisa juga sajak omongan lo."

"Eh omong-omong si Revano kok bisa belok? Cakep begitu."

"Entah, lagian yang cakep belok sekarang mah banyak. Makanya buat cewek-cewek nyari cowok itu jangan dari tampangnya doang."

"Lagian si Revano kayak moody gitu orangnya, gampang ngambek ya?"

"Hooh, tapi baek sih aslinya."

"Oke, jangan bahas Revano lagi. Gue mulai geli. Sekarang mending mikir tugas Bu Cicih, lo udah nulis tentang minyak bumi nggak? Lo kan nggak remed ulangan kemarin."

"Udah, cuma dikit. Lo kan nggak remed juga, kok ngomong begitu?"

"Gue kan kemarin dispen gara-gara kumpul eskul."

"Oh."

Setelah beberapa lama hening, Luna membuka mulutnya lagi.

"Eh, Mar. Gue khawatir Gisel lebih parah kondisinya dari yang kita pikir."

"Sama, makanya gue sering ngomel-ngomel terus ya karena itu."

"Nanti kita periksain dia ke rumah sakit gimana? Tapi kitanya juga ikut."

"Bisa-bisa."

"Oke, nanti."

***

Sebenernya saya pengen On Hold atau bahkan Unpublish aja dua cerita yang sekarang lagi on going biar bisa fokus di dua atau tiga cerita aja, tapi nggak bisa karena sayang semuanya haha.

Ok, see you.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang