DUA PULUH : Menjenguk Gisel

55.1K 6.5K 194
                                    

Luna menahan tawanya untuk tidak meledak, meskipun tidak sepenuhnya berhasil karena ia akhirnya mengeluarkan senyuman lebar.

Terlihat Kevan yang memerah wajahnya karena terus-menerus​ diganggu oleh Mario dengan memberondong pertanyaan, mulai dari apakah Kevan suka Gisel atau tidak, sampai apa dia bersedia menerima hukuman dari Mario kalau Kevan sampai menyakiti Gisel.

Apalagi saat Kevan meminta Mario menemaninya menjenguk Gisel, Mario langsung tertawa terbahak-bahak, yang agak tidak tepat untuk saat itu. Kevan mengernyitkan dahi tidak mengerti, apakah lucu jika ia ingin menjenguk seseorang?

Luna juga ingin tertawa sekaligus ingin muntah ketika Mario mengganggu Kevan dengan usaha seolah sedang menebarkan pesonanya, mulai dari tersenyum hingga lesung pipinya terlihat, atau tertawa manis yang bisa membuat para seme menyukainya. Tapi itu tidak berlaku bagi Kevan, karena cowok itu normal.

Luna ingat sebelum ini Revano sempat menunjukkan ekspresi tidak suka, alisnya yang tebal bertautan, bibirnya membentuk satu garis lurus dan seakan mustahil untuk tertarik ujungnya ke atas.

Tetapi sikapnya melunak setelah Mario menjelaskan panjang lebar kalau Kevan memintanya untuk menemani menjenguk Gisel, tidak ada maksud lain.

"Oke, nanti gue ngomongnya gue yang ngajak, bukan lo." Mario berujar sembari membenarkan tali tasnya yang dirasa terlalu panjang.

"Thanks ya, Mar."

"Sama-sama. Tapi nanti gue pinjem salah satu novel punya lo ya?"

Kevan mengangguk. "Boleh, itung-itung bentuk rasa terima kasih gue karena lo udah mau nganterin jenguk Gisel."

Mario mengacungkan jempolnya. "Mau berangkat sekarang?"

"Kalo lo nggak ada kegiatan lain, sekarang juga ayo-ayo aja."

"Oke." Mario menoleh ke arah Luna, "Na, gue duluan ya."

Luna mengangguk, melambaikan tangan, dan hampir tertawa lagi ketika Mario menatap Kevan yang sudah berjalan mendahului ke parkiran sekolah lalu beralih menatapnya lagi sembari mengedipkan sebelah matanya.

Luna berbalik, berjalan menuju toilet untuk mengganti seragamnya. Hari ini ia ada eskul taekwondo yang akan dilaksanakan di gedung olahraga yang cukup luas.

Di dalam toilet, Luna sempat bertemu dengan Tiara. Cewek itu menanyakan Mario, yang langsung dijawab singkat : Mario sudah pulang.

Ketika sudah selesai berganti pakaian, Luna keluar dari toilet dengan langkah-langkah panjang, hampir saja tersentak kaget ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya. Luna berbalik dan mendapati Raja yang tersenyum lebar.

Cowok itu juga sudah berganti pakaian, seragam sekolah sudah diganti dengan pakaian olahraga tanpa lengan yang menyerap keringat, lalu celana pendek selutut. Menampilkan otot tangannya yang bagus dan mengekspos kakinya yang panjang.

"Hai, Na."

"Hai."

"Mau latihan?"

"Iya, lo juga?"

Raja mengangguk, agak sedikit menunduk karena perbedaan tinggi mereka yang cukup jauh. Tubuh Raja yang hampir mencapai seratus sembilan puluh sentimeter membuatnya tampak seperti tiang, hanya saja terlihat eksotis gara-gara warna kulitnya yang cenderung cokelat akibat seting diterpa sinar matahari.

"Lo makan apaan sih, Ja? Tinggi banget," komentar Luna ketika mereka berbelok di koridor.

"Makan nasi, Na. Masa makan bambu, emang gue panda."

"Ya aneh aja bisa tinggi banget kayak gini."

Raja tertawa kecil. "Loh kok aneh? Gue kira kalo gue tinggi, lo bakalan suka sama gue. Ya udah ya, gue duluan, Na."

Raja tersenyum, mengedipkan sebelah matanya dan melangkah menuju lapangan voli yang terpisah dari gedung olahraga. Meninggalkan Luna yang mengernyitkan dahi, tetapi tersenyum kemudian.

Luna berjalan ke gedung olahraga dengan langkah ringan, bahkan cenderung melompat-lompat.

***

Senyummu bagaikan gravitasi bumi yang menarikku kuat hingga ke dasar, dasar hatimu.

***

Kevan melirik ke spion motornya, untuk melihat Mario yang kini menguap lebar. Mereka masih dalam perjalanan menuju rumah Gisel yang tinggal sebentar lagi, untungnya cuaca sore itu cerah sehingga tidak membuat mereka berteduh karena turun hujan.

"Di sana nanti belok kiri," ucap Mario, Kevan menurut dan membelokkan motornya sehingga mereka masuk ke kawasan perumahan yang tertata rapi meskipun tiap rumah berbeda-beda modelnya.

Mario menunjuk rumah besar berwarna putih, ia turun terlebih dulu untuk masuk ke dalam gerbang yang tidak terkunci. Membukanya sedikit sehingga Kevan bisa masuk dengan motornya.

"Masuk aja, nggak ada siapa-siapa juga."

Kevan menaikkan alis ketika mendengarnya. "Maksudnya?"

"Palingan cuma ada Gisel sama pembantunya, nyokap bokap Gisel jarang ada di rumah," jelas Mario. Mereka masuk ke dalam rumah yang luas, ditambah perabotan mewah. Tetapi rasanya hampa.

Mario lebih dulu menaiki tangga, berjalan dengan cepat menuju salah satu pintu yang berwarna merah muda. Tampak kontras dengan warna dinding di sekitarnya yang putih.

Mario mengetuk pintu kamar Gisel keras dan berulang kali, terlalu antusias hingga melupakan fakta bahwa Gisel sedang sakit.

"Nggak ngeganggu? Kalo ganggu gue pulang aja," ucap Kevan pelan, Mario menggeleng tak setuju.

"Sel, Gisel. Gue masuk ya?"

Mario membuka pintu, masuk ke dalam dengan senyum lebar yang tak bisa ia tahan. Dilihatnya Gisel yang baru duduk sembari mengucek-ngucek mata, rambutnya agak kusut.

"Gisel," panggil Mario, masih tak bisa menyembunyikan senyumnya.

"Apaan?" Gisel menguap, matanya menatap Mario dengan malas, ia masih ingin tidur.

Kemudian matanya beralih menatap cowok di belakang Mario, Gisel membelalak dan hampir saja melompat kaget. Ia segera memalingkan muka yang mulai memerah.

Apa yang Mario lakukan dengan membawa Kevan ke sini? Penampilannya kan pasti acak-acakan, dan Gisel tidak ingin Kevan melihatnya seperti ini.

Gisel meringis, pelan-pelan kembali berbaring dan menutupi wajahnya dengan selimut. Malu.

"Gisel, liat dong siapa yang mau jenguk lo."

Gisel ingin menangis saja rasanya. Biasanya kan Mario selalu sadar keadaan, lalu mengapa harus mengajak Kevan segala?

"Gue ... ganggu ya, Sel?" Kevan mengeluarkan suaranya dengan pelan, ia mengusap tengkuknya.

Gisel menggeleng.

"Duh nggak, Kevan," balas Gisel dalam hati.

"Karena gue haus dan nggak mau ganggu atau jadi obat nyamuk, gue turun dulu ya." Mario menepuk pundak Kevan, keluar dari kamar dengan cepat sembari terkikik geli.

Meninggalkan Gisel dan Kevan yang tenggelam dalam suasana hening yang kikuk.

***

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang