Luna sudah malas luar biasa dengan hari yang penuh ulangan ini, ditambah Agnes yang tiba-tiba menjegal langkahnya di koridor sekolah membuatnya semakin sebal.
"Apa lagi, sih?" ketus Luna, matanya menyiratkan kekesalan yang nyata.
"Jadi, lo udah normal lagi? Gue... denger soal lo dan Raja."
"Kalo lo udah denger dan ngerti, ngapain nanya?"
Karena kesal, Luna hendak melangkah pergi meninggalkan Agnes. Namun, ucapan cewek itu tiba-tiba membuat tubuhnya seakan kaku.
"Kalo kita nggak kayak dulu, gue bakal sebar kalo lo belok ke semua orang."
Tenggorokan Luna terasa kering, tetapi dia malah tersenyum sinis sedetik kemudian. "Kalo lo ngelakuin itu, lo sama aja bunuh diri, Agnes."
Langkah Luna yang menjauh membuat Agnes berdesis, mengepalkan tangan kuat-kuat menahan amarah lalu rahangnya mengeras.
"Gue akan tetep ngelakuin itu, bahkan jika harus mengorbankan diri gue sendiri," putusnya.
***
Ke mana perginya Raja?
Luna bertanya-tanya dalam hati, sebab biasanya cowok itu akan menghampirinya pada saat jam istirahat. Tetapi kini Luna bahkan tidak melihat batang hidungnya.
Namun, saat Luna sedang membeli sepiring batagor, perbincangan di belakang segera menarik perhatiannya.
"Gimana, Ja? Lo udah berhasil belum?" tanya seseorang.
"Belum, tapi gue yakin dia bakal terima gue," jawab yang lain. Luna mengernyit, itu Raja.
Menerima? Bukankah itu dirinya? Raja kan sempat memintanya menjadi pacar tetapi belum ia jawab, masih digantung macam jemuran.
"Gue harap lo ditolak," sahut cowok bersuara cempreng.
Luna menajamkan pendengarannya, ingin sekali ia menguping tetapi tidak tepat jika ia terus berdiri di sana. Oleh karenanya, setelah menggerai rambut yang biasanya diikat, Luna membawa sepiring batagor menuju kursi di sebelah kelompok Raja dengan diam-diam.
"Ya diterima, biar gue menang taruhan."
Ucapan Raja itu membuat Luna mendengus, tak sadar mencengkram sendoknya sangat kuat.
Oh, jadi dia hanya bahan taruhan cowok jangkung itu?
"Kayaknya nggak bakal berhasil, Ja, lo tau sendiri si Luna dinginnya ke cowok kayak gimana."
Baiklah, semakin jelas kalau yang mereka bicarakan adalah dirinya. Ingin Luna mengumpat keras-keras, tapi dengan sekuat tenaga ia tahan agar bisa mendengar lebih banyak lagi.
"Gue yakin dia bakal nerima gue," balas Raja percaya diri. Ia membayangkan Luna lalu tersenyum, membuat kedua sudut bibirnya terangkat naik.
Sial, sepertinya ia benar-benar suka pada Luna, bukan hanya karena taruhan saja.
"Gue harap lo kalah, serius. Mana mau gue relain duit traktir lo bakso selama sebulan penuh."
Jadi, ia hanya seharga seporsi bakso dalam satu bulan saja? Rahang Luna mengeras, ia bangkit karena sudah tidak tahan.
Ia beranjak ke meja Raja dengan membawa piring batagor di tangan, membuat mereka semua membelalak kaget.
"Meski begitu, gue udah mulai su-"
Ucapan Raja terpotong gara-gara Luna mengoleskan saus kacang ke wajah Raja dengan sendok, tak lupa menepuk-nepuknya dengan benda itu.
"Jadi selama ini gue cuma bahan taruhan lo?!"
"Eh... hai, Luna," sapa salah satu dari mereka.
"Bacot," seru Luna galak, membuat mereka meringis dan menatap Raja dengan pandangan kasihan.
Raja langsung gelagapan, meraih tisu di meja dan membersihkan wajahnya yang tidak karuan. "Gu-gue bisa jelasin."
"Gini ya, gue nggak bakalan mewek terus mohon-mohon kayak yang bakal target lo yang lain lakuin. Tapi, gue bakal...."
Dengan sekuat tenaga Luna menendang kursi Raja dari depan hingga cowok itu terjengkang ke belakang. "Begini."
"Na, gue bisa jelasin semuanya. Gue emang taruhan buat dapetin lo tapi gue udah mulai suka sama lo," cerocos Raja yang sudah bangkit mengejar Luna yang berjalan keluar kantin.
Kontan mereka menjadi tontonan seisi kantin, apalagi wajah Raja yang belum sepenuhnya bersih dari saus kacang begitu menarik perhatian.
"Na, Luna!"
Mario hampir saja tertubruk oleh Raja kalau Revano tidak menarik tangannya, ia mengernyit bingung melihat Luna yang merasa risi dan berjalan menjauhi Raja. Padahal sejauh pengetahuannya, mereka sedang dekat.
"Mereka kenapa?" tanya Mario, tetapi Revano hanya menggeleng, sama tidak tahunya dengan Mario.
"Mana gue tau, Mar."
"Oke, itu urusan nanti. Sekarang mending ke UKS."
"Siapa yang sakit? Dew- Gisel?"
Mario menyipit, tetapi mengangguk lambat-lambat. "Kenapa lo selalu manggil dia Dewi?"
Revano menelan salivanya kasar. "Nama dia kan emang Dewi."
"Iya, sih. Udah ah buruan."
Namun, rasa penasaran Mario rupanya belum padam, sehingga dia mencegat seorang siswi di koridor sebelum belokan ke UKS.
"Tadi di kantin ada apaan?"
Mario menebak kantin adalah kejadian di mana Luna dan Raja berselisih, sebab cewek itu tadi mengatakan ingin makan sesuatu.
"Katanya Luna ngamuk gitu gara-gara Raja jadiin dia bahan taruhan," jawab si cewek.
Mario melotot, mengucapkan terima kasih dan berbalik arah kembali. Membuat Revano bingung dengan kelakuan cowok itu. "Kenapa?"
Mario tidak menjawab, malah berlari sekencang mungkin dan meninggalkan Revano yang hanya bisa mendesah bingung. Ia melanjutkan langkahnya menuju UKS saja.
***
Raja berdecak, Luna bahkan tidak merespon ucapannya padahal ia sudah meminta maaf sejak tadi. Ia sedang berada di kelas cewek itu dan mencoba membujuknya, sayangnya gatot, gagal total.
"Na, please gue minta maaf. Gue beneran suka sama lo, jangan peduliin fakta soal gue yang taruhan."
"Jangan peduliin lo bilang? Pergi!"
"Na, gue bener-bener mohon sama lo-"
Tiba-tiba, terdengar teriakan seseorang, membuat Raja menoleh dengan kening mengkerut.
"RAJA!"
Saat sudah dekat, Mario mendengus dan meninju wajah Raja sekuat tenaganya.
Oleh karena itu, kegaduhan-kegaduhan lain pun menyusul bermunculan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight
Teen Fiction[ SELESAI ] Ini tentang mereka bertiga. Mario, Gisel dan Luna. Ini tentang mereka bertiga. Yang diam-diam menyimpan rahasia, yang diam-diam menahan sakit yang ada, yang merasa lelah raga. Ini tentang mereka bertiga. Bagaimana persahabatan mewarnai h...