EMPAT PULUH SATU : Di Rumah Mario [2]

51.3K 6.4K 309
                                    

Persahabatan itu mudah, hanya ego saja yang membuatnya susah.


***

"Lo curang!" seru Gisel sambil memukul lengan Mario yang mencoba menyembunyikan selembar uang monopoli seratus ribuan.

"Ish." Mario cemberut, lalu meletakkan kembali benda tipis itu.

"Kebiasaan," cibir Luna. Ia sudah hafal kebiasaan Mario jika bermain monopoli, kalau tidak mengambil uang diam-diam, ya mengambil kartu kesempatan padahal tidak diam di kotak tersebut.

"Eh, Sel, gimana lo pulang tadi? Lo pasti kabur dari makan malam itu," celetuk Luna tiba-tiba setelah memukul tangan Mario yang lagi-lagi berusaha membawa uang monopoli miliknya.

"Gue... dianterin."

"Dianterin siapa? Mang Irman?"

Gisel menggeleng, melirik Mario yang tampaknya sedang dalam mood yang baik.

"Sama... Revano."

Mario langsung menoleh, jelas menunjukkan rasa terkejut yang nyata, terlihat dari matanya yang membulat. "Hah?"

Gisel mendesah, ini yang malas ia hadapi. Gisel takut akan berbicara yang bukan-bukan atau keceplosan, misalnya. "Iya Revano."

"Kok bisa?" Luna bertanya dengan kening mengkerut, di saat seperti itulah Mario diam-diam mengambil selembar uang monopoli seratus ribuan milik cewek itu.

"Gue tadi kabur, kayak yang lo bilang. Terus gue ketemu Revano, dia lagi beli sate."

"Oh. Revano emang suka sate," komentar Mario.

Diam-diam Gisel mengembuskan napas lega, ternyata Mario bereaksi biasa saja. Tidak ngambek atau reaksi lain yang tidak diharapkan Gisel.

"Mending lo mau deket-deket dia, kan biasanya anti banget." Ucapan Luna membuat Gisel meringis. Duh, Luna!

"Ya mau gimana lagi, lumayan tebengan gratis."

Mereka akhirnya kembali larut dalam permainan itu, hingga tak sadar jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Karena malas, Mario tidak membereskan tetapi hanya meletakkannya di atas meja belajar.

Biar Lili saja yang rapikan, begitu pikir Mario. Toh kakaknya itu tidak ada kerjaan selain sibuk jerat-jerit tiap kali melihat sesuatu tentang idolanya.

Tiga remaja yang kini kompak memandang langit-langit kamar mendengus secara bersama, yang tak pelak membuat mereka tertawa.

"Kayak kurang tepat sih ya gue ketawa pas saat-saat kayak gini, tapi gue juga nggak tau apa mereka justru ketawa atau nggak karena akhirnya bisa pisah, bisa bebas," kata Gisel dengan nada bicara yang rendah.

Mendengar itu, Luna tersenyum kecut. "Lagian, Sel, nggak ada gunanya lo sedih. Kadang orang yang mutusin cerai itu udah kayak batu, mereka nganggep perasaan mereka nomor satu. Mau misal lo keukeuh mereka harus tetep satu, selama itu bertentangan dengan ego mereka nggak akan nurut.

"Tapi sekarang, gue penasaran apa mereka hubungin lo setelah tau tentang penyakit lo itu."

"Entah, hape gue matiin dari tadi."

Gisel menghidupkan ponsel setelahnya, sedangkan Luna memperhatikan gerak-gerik cewek itu.

"Oh ada, 59 missed calls, wow," ucap Gisel datar, meski sempat terkejut ternyata orang tuanya bisa merasa peduli tentangnya juga.

"Gisel, kamu di mana?"

"Gisel, balas telepon Papa."

"Gisel, jangan buat Papa khawatir."

Gisel membaca beberapa pesan tanpa emosi, yang menimbulkan decakan lidah dari Luna. "Bales pesan mereka, Sel."

"Buat apa?"

"Gimana pun juga mereka itu khawatir soal keadaan lo, mereka pasti lagi nyariin lo sekarang."

"Kalo mereka nyariin, mereka pasti sampe ke sini, nemun gue di sini. Apa karena kepala mereka penuh sama proyek dan saham sampe lupa rumah sahabat anaknya yang notabene tetangga mereka sendiri?"

"Mereka cuma bingung, Sel, tiba-tiba mereka dapet kabar kalo anak mereka punya penyakit semenyeramkan itu dari orang lain. Mereka pasti shock, iya kan, Mar?"

Bukan anggukan atau ucapan setuju yang menyambut pertanyaan Luna, melainkan dengkuran halus pertanda seseorang sedang tidur.

Jadi, dari tadi Mario sudah pergi ke alam mimpi begitu? Dasar.

Wajah Mario saat itu tampak damai, seperti bayi polos tak berdosa. Memang, untuk ukuran laki-laki Mario bisa dibilang tipe cowok cute, jauh dari kesan maskulin. Badannya juga tidak tegap ataupun berotot, tetapi tidak akan ada yang berani melawannya saat dia marah.

Sebab, kala emosi Mario memuncak maka 'kekuatan terpendam' cowok itu akan keluar. Contohnya saja saat Gisel dijahili kakak kelas, Mario tak segan dan tak takut untuk menghajarnya di parkiran sekolah. Yang berakhir dengan dia diinterogasi di ruang BK.

Sebuah keuntungan bahwa dia banyak dan pintar bicara, sehingga ada saja alasannya jika dicecar guru BK untuk dimintai keterangan. Membuat musuhnya gondok kadang-kadang.

"Udah, Na, mending tidur deh."

Gisel tidur membelakangi Mario, begitu pula dengan Luna. Namun, saat Mario bergerak dalam tidurnya dan tangannya​ meregang serta berhasil menggeplak kepala dua cewek di sisinya, sontak menimbulkan reaksi yang sama.

"MARIO!"

***

Cowok sejati itu bukan yang penuh otot atau fanatik bola, tapi yang bisa menjaga perasaan orang yang disayanginya.

***

Tak aneh jika kondisi tubuh Gisel tiba-tiba tidak memungkinkan saat pelajaran tengah berlangsung, sehingga dia harus segera pergi ke UKS dan beristirahat di sana. Apalagi gara-gara banyak kepikiran soal orang tuanya dan tadi dia tidak pulang ke rumah, Gisel jadi tambah pusing.

Namun, ada yang berbeda kali ini. Biasanya di UKS ada guru pembimbing serta anggota PMR yang piket, sedangkan kini hanya tersisa satu anggota PMR saja, yang merupakan kelas XI dan kakak kelas Mario serta Gisel.

Begitu Gisel berbaring di atas tempat tidur dan Mario menyelimutinya, dia berseru ketus cukup lantang hingga bisa didengar Mario.

"Ke UKS mulu padahal lagi kosong, gue males piket, nyusahin," cerocosnya. Yang tak pelak membuat Mario memelototi cowok itu, masa bodoh dengan statusnya yang sebagai senior.

"Kalo sakit terus nggak usah sekolah, ke rumah sakit sono, dasar penyakitan."

Oke, ini keterlaluan.

Dengan tangan mengepal kuat Mario maju dan menepuk pundak kakak kelasnya itu, tak lupa disertai tatapan sinis yang mengintimidasi. "Ngomong apa lo tadi?"

Alis senior itu naik, merasa heran dengan adik kelas di hadapannya yang terbilang berani ini. "Yang sopan sama senior, nyet."

Emosi Mario langsung memuncak, ia menendang perut kakak kelasnya hingga dia tersungkur. Tak lupa mencengkeram bahu dan membisikkan kalimat mengancam saat dia berusaha duduk.

"Itu tugas lo buat jadi anggota PMR, njing. Kalo lo males, nggak usah jaga, gue bisa di sini. Gue nggak takut sama status lo yang kakak kelas atau apa pun itu, cuma gue bisa menyimpulkan kalo lo itu goblok.

"Sekali lagi lo nyebut temen gue penyakitan, gue nggak akan segan-segan hajar lo sampe mampus. Camkan itu, nyet. Sekarang, keluar dan bawa ego kampungan lo itu."

Senior itu pergi dengan sumpah serapahnya setelah meringis karena Mario menendang punggungnya.

Mario sendiri tidak peduli, karena selama sahabatnya diganggu, dia tidak akan tinggal diam.

***

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang