TUJUH : Hujan dan Tiga Mangkuk Bakso

79.5K 7.9K 498
                                    

"Gue mau putus."

Agnes mencengkram ponselnya yang kini sedang melakukan telepon dengan seseorang yang mengatakan tiga kata yang menurutnya menyeramkan tadi.

Apa salahnya? Rasanya tidak ada kesalahan yang Agnes perbuat, baik kecil ataupun besar. Bukankah hubungan mereka baik-baik saja? Tadi waktu jam istirahat saja ia dan Luna sempat berjalan bersama dan berbincang-bincang sebentar.

"Ma-maksudnya?"

Agnes membalas dengan suara terbata, berharap apa yang didengarnya adalah salah.

"Gue.mau.kita.putus."

"Tapi ... kenapa? Kok mendadak gini?"

"Gue udah nggak nyaman sama lo, intinya gue mau kita putus. Simple."

"Please gue ng-"

Telepon ditutup sepihak.

Agnes menatap ponselnya sejenak, lalu beralih memandang langit yang mulai mendung.

Ia tidak menyangka hubungannya akan berakhir secepat itu, memangnya apa yang salah dengannya?

Agnes memandang pantulan dirinya sendiri di cermin, rambutnya yang hitam panjang tergerai manis, tak lupa sebuah jepitan pada poninya menambah kesan manis tersebut.

Tidak ada yang salah dengan penampilannya.

Agnes tersenyum sedih, memandang teman-teman sekelasnya yang tinggal sedikit di kelas karena bel pulang sudah berbunyi dari tadi. Mereka sama-sama menunggu sesuatu atau memang ingin diam dulu di kelas, termasuk Agnes yang perasaannya sedang tidak menentu.

Agnes kembali memandang langit di balik jendela yang mendung, ternyata hujan sudah mulai turun dari tadi.

"Apa salah gue sih Na?" gumam Agnes pelan, parau dan tidak terdengar.

***

"Good choice Luna!" Gisel memekik senang dan bertepuk tangan layaknya anak kecil ketika Luna mematikan teleponnya.

Luna sendiri hanya memasang wajah datarnya, mencoba menyembunyikan perasaan tidak enak yang ia rasakan sekarang. Tidak enak kepada Agnes karena memutuskan cewek itu sepihak, tidak enak juga kepada perasaannya sendiri. Karena dengan mudahnya memutuskan sebuah hubungan yang sudah berlangsung cukup lama.

"Lo nggak papa kan?" Luna menoleh ketika Mario bersuara dan menepuk-nepuk pundaknya.

"Nggak papa."

Tanpa diduga Mario menarik Luna kedalam dekapannya, mengelus kepala cewek itu dengan lembut dan sikap menenangkan.

Gisel terkesiap dan menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan godaan, meskipun bukan ia yang dipeluk Gisel merasa pipinya bersemu merah.

"Mario, ngapain lo meluk gue? Ini masih di sekolah tau!" Memang benar, beberapa siswa yang berada di koridor tampak memerhatikan mereka sejenak, sebelum meneruskan langkahnya.

"Lo kayaknya lagi sedih deh, meskipun tadi ngomong baik-baik aja." Mario mengacak rambut Luna gemas, lalu melepaskan pelukannya.

"Tapi kan nggak gitu juga."

"Maaf Luna tersayang."

"Ekhemm cek kok gue ngerasa jadi kayak obat nyamuk ya?" celetuk Gisel sambil berkacak pinggang.

Mario mendengus. "Udah ah ayo pulang."

"Jangan pulang dulu ah. Sebagai rasa seneng gue karena Luna udah putus dari pacar beloknya, gue bakalan traktir kalian makan bakso. Mau nggak?"

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang