EMPAT PULUH LIMA

92.9K 7.2K 537
                                    

Dan inilah kita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dan inilah kita. Lebih hangat dari sang fajar, lebih dekat dari urat nadi, lebih berwarna dari pelangi.

***

Semilir angin yang berembus membelai pipi begitu lembut, menentramkan hati yang masih dalam keadaan rapuh.

Tidak, hati mereka tidak rapuh. Sudah hancur berkeping-keping, seperti kaca yang pecah. Tak dapat disusun lagi, tak dapat diperbaiki kembali.

Balkon kamar Gisel menjadi tempat di mana ketiga sahabat itu berkumpul. Tak ada keluh kesah, tak ada kalimat yang terucap. Hanya hening. Namun, justru hening itu yang berbicara, mengungkapkan segala rasa ke udara.

"Mar," panggil Gisel lemah. Sejujurnya, seluruh tubuhnya terasa lemas dan sakit, apakah kepalanya yang seakan mau pecah.

"Hmm."

Gisel menyandarkan kepalanya di pundak Mario, memejam untuk menikmati waktu yang terus merangkak dalam rotasi bumi. "Lo nggak papa, kan?"

Mario mempernyaman posisi tubuhnya di kursi panjang di balkon. "Emang gue kenapa?"

Gisel menelan salivanya kasar, sejenak ia melirik Luna yang mengangguk, meyakinkannya. "Soal... Revano. Lo marah sama gue?"

"Buat apa gue marah sama lo? Toh kenyataannya kalian yang duluan punya hubungan, kan? Gue yang pengganggu, bukan lo."

Gisel menahan sesak di dada. Ini memang Mario, yang selalu mengalah pada puncak perjuangannya, yang selalu tersenyum seolah tak terjadi apa-apa, yang menerima rasa sakit tanpa perlawanan nyata.

"Gue harap lo balik lagi sama Revano, Sel, dia masih sayang sama lo." Mario melepas gelang kayu yang melilit tangannya, pemberian Revano dulu. "Ini buat lo aja."

Sontak Gisel menggeleng. "Nggak, itu pasti pemberian Revano. Simpen, jangan kayak gitu, Mar. Lo bikin gue semakin merasa bersalah."

"Maaf," cicit Mario pelan, kembali memakai gelang itu.

Suasana sore hari kembali hening, binar senja yang semakin memudar menerpa wajah ketiganya yang sendu. Emosi mereka lesu, seolah tak bernyawa.

"Luna."

Luna menoleh, menatap Mario yang berada di tengah-tengah mereka dengan bingung. "Apa?"

"Raja nggak akan ganggu lo lagi, gue udah minta dia buat ngejauhin lo. Dan Gisel, lo mau tau kabar Kevan?"

"Dia gimana?" tanya Gisel, tidak begitu berminat lagi, sebab rasa sukanya menyusut drastis.

"Dia udah punya gebetan baru. Guess who? Dia Kartika, anak OSIS yang ngurus majalah dinding. Sejujurnya, gue pukul dia pas pulang sekolah. Berani-beraninya dia nge-PHP-in sahabat gue."

Luna mendesah pelan. Ia masih kesal jika sudah mendengar nama cowok yang bahkan enggan ia ingat. Dia membuatnya tidak respek kembali kepada kaum adam, kecuali Mario tentunya.

Luna berpikir bahwa semua ini ironis. Raja yang bertubuh tegap, pandai berolahraga, memiliki banyak teman cowok justru tidak lebih 'laki' dari Mario yang cenderung cantik, cerewet, kecewekan, lalu belok.

Raja sampai hati untuk mempermainkan perasaan orang lain. Hanya untuk traktiran satu bulan, dia menganggap perasaan orang lain bukan apa-apa. Segampang itukah?

"Mar, lo cowok paling macho yang gue kenal," ucap Luna, membuat Mario tertawa sumbang.

"Macho apanya? Gue homo, Na, otomatis gue kemayu, banci."

"Tapi lo lebih gentle dari Raja."

Mario tersenyum tipis, tidak merespon.

Luna ikut bersandar di pundak Mario seperti Gisel, juga memejam untuk sebentar melupakan bebannya.

"Please, kepala kalian itu kayak batu, bahu gue sakit."

"Ngerusak suasana," cibir Gisel.

Mario nyengir.

Mata mereka kembali memandang langit, hingga Mario membuka mulut, menyerukan apa yang mengganjal di hatinya.

"Na, Sel, kalian boleh kecewa sama yang namanya ​cinta, sama orang yang bikin lo marah. Tapi jangan sampe kecewa sama penciptanya. Maksud gue, marah sama makhluknya aja."

"Lo kerasukan apa sampe bisa ngomong begitu? Shalat aja masih bolong-bolong pake alasan lagi M aja sok-sokan ngomong pencipta," celetuk Luna.

Mario mendengus. "Sekarang siapa yang ngerusak suasana?"

"Luna!" seru Gisel.

"Udah ah, jangan bahas cinta-cintaan, bikin capek."

"Ya udah, bahas tentang kita aja," saran Mario. "Apa pun yang terjadi, janji buat selalu pertahanin persahabatan kita dan jangan buat hubungan ini retak."

"Janji."

"Janji."

"Bagus."

Mario mengacak rambut Gisel dan Luna dengan gemas. "Jadi, kita bakal bersahabat sampe mati kan?"

"Berarti gue sebentar lagi."

Mario langsung melotot saat mendengar ucapan Gisel. "Jangan ngomong sembarangan​!"

"Iya, Mar."

Mario mengembuskan napas perlahan. "Lo masih inget omongan gue soal bayangan yang tak pernah pergi?"

"Masih," jawab Luna dan Gisel kompak.

"Bayangan nggak menghilang saat cahaya berhenti menyinari. Dia cuma bersembunyi. Jadi pas nanti dia muncul, bayangan akan lebih gelap, lebih berarti. Dia akan kembali, pasti."

"Melow banget," komentar Gisel.

"Intinya, kita mungkin bakal berpisah karena beberapa hal. Tapi, kita tahu mana tempat untuk pulang, kan?"

Gisel dan Luna mengangguk.

Untuk sejenak, mereka melupakan masalah cinta remaja.
Untuk sejenak, mereka melepaskan beban.
Untuk sejenak, mereka melepaskan rasa sesak di dada.

Untuk sejenak, mereka memejamkan mata.
Untuk sejenak, mereka merasakan indahnya persahabatan.
Untuk sejenak, mereka menyadari bahwa tak ada lagi yang lebih indah dibanding berbagi senyum dan perasaan yang sama.

Biarlah hidup mengalir. Jika ada rintangan menghalangi, hadapilah. Jika ada masalah menghampiri, selesaikanlah. Sebab tidak akan ada yang selesai jika kita hanya berlari pergi.

Dan untuk sejenak, mereka hanya memikirkan soal bagaimana beruntungnya mereka memiliki orang-orang berharga di sekitarnya.

• E N D •

So, ini akhir untuk bagian I tentang Mario-Gisel-Luna ya. Semoga kalian sukaa hehe.

Penjelasan lebih lanjut ada di bab selanjutnya. Kuy baca biar nggak ada pertanyaan lagi.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang