Kecewaan adalah motivasi terbesar untuk tetap melangkah maju.
***
Mario dan Luna memilih untuk pergi ke UKS dibanding kembali ke kelas. Mereka sama-sama mengkhawatirkan Gisel, apakah dia masih merasa sakit? Keduanya tahu bahwa penyakit Gisel tidak bisa diharapkan, jadi perasaan cemas mereka tidak akan pernah hilang.
Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Mario serta Luna begitu memasuki UKS. Revano terlihat duduk di kursi di samping tempat di Gisel berbaring, matanya menatap Gisel lurus-lurus.
Seolah Gisel akan lenyap jika ia berkedip sekali saja, seolah Gisel akan pergi meninggalkannya, seolah tak ada hari esok ia dapat melihat Gisel di depan mata.
Mario curiga, tentu saja. Menurutnya, kedekatan Revano dan Gisel akhir-akhir ini tidaklah wajar. Mereka terlalu akran, terlalu... dekat.
Bukan Mario berprasangka buruk, tetapi yang terjadi begitu memicu pemikiran-pemikiran untuk bermunculan di kepalanya tanpa henti.
"Lo masih di sini?" tanya Mario datar.
"O-oh iya, gue... nggak ada yang nemenin dia soalnya," balas Revano gelagapan.
Luna menarik kursi lain untuk duduk di dekat Gisel yang kini memejamkan mata, tidur. Ia dan Mario duduk dalam kursi yang sama, kebetulan karena mereka memiliki tubuh yang kecil, tidak ada sahutan protes soal makan tempat atau sejenisnya.
"Gisel cantik ya?" celetuk Mario, entah bermaksud apa. "Dia juga baik. Gitu, kan, Van?"
Revano sontak mengangguk. "Iya, Dewi baik."
Mario tersenyum sinis, mencoba menahan sesak di dada yang malah semakin terasa sakit di sana. "Van, gue minta lo jujur."
Luna mendongak, menatap Mario dan Revano bergantian. Ia tidak mengerti dengan situasi yang membingungkan ini. "Jujur soal apa, Mar?"
"Revano Pradipta, jawab gue."
Revano mendesah. Ia resah, sejujurnya ia tak bisa memendam rahasia itu lebih lama lagi. Yang ada rahasia itu malah menjadi bom waktu, yang akan berefek semakin besar jika ia terus menyimpannya.
Dan akhirnya, Revano memilih untuk jujur saja.
"Dulu gue dan Dewi pernah jadian."
Luna memandang Revano tidak percaya, sedangkan Mario hanya tertawa sumbang. "Lo masih sayang sama Gisel, kan? Terus lo jadi pindah ke gue? Hebat."
"Bukan gitu, Mar. Gue beneran sayang sama lo, tapi gue nggak tau itu rasa orang kasmaran atau abang ke adeknya. Gue cuma ngerasa ngelindungin lo itu keharusan buat gue.
"Dan soal Dewi, emang bener... gue masih sayang sama dia, banget malah. Pas gue tahu dia punya kanker, dunia gue sama ancurnya kayak kalian."
"Jadi lo cuma jadiin Mario pelampiasan?" hardik Luna, jelas marah.
"Gue nggak bermaksud seperti itu, Luna. Gue... bener-bener bingung sama perasaan gue sendiri."
Luna menggeram. "Emang bener ya. Cowok kalo nggak berengsek, ya homo."
Meski berat diakui, Mario setuju dengan ucapan Luna itu.
"Maaf, Mar. Gue terlalu egois."
Mario mengangkat bahu, meluncurkan kata-kata dengan suara yang bergetar. "Ya udah, kita putus aja. Percuma, ternyata cuma gue yang berharap," putus Mario lirih.
"Gue minta maaf."
"Pergi," titah Mario dengan ekspresi datar kembali.
Revano menurut, dia memandang Mario penuh rasa bersalah. "Sekali lagi, gue minta maaf, Mar."
"Gue nggak butuh maaf dari lo."
Revano mengerti. Mario marah, tetapi tetap mengalah. Mario kecewa, tetapi tahu di mana posisinya berada.
Saat Revano sudah keluar dari UKS, tangis Mario pecah dan ia menyandarkan tubuhnya ke Luna sepenuhnya.
"Apa emang nggak ada yang bener-bener sayang sama gue? Apa gue sehina itu?"
"Nggak, Mar. Kita nggak hina, cuma orang lain aja yang nggak pernah mau ngerti. Karena mereka itu egois."
"Gue nggak marah sama Gisel, sama sekali nggak. Gue cuma marah sama diri gue sendiri, apa semenyedihkan ini hidup gue?"
"Jangan ngomong kayak gitu. Banyak yang lebih menderitanya dari lo. Lo boleh kecewa, tapi jangan terlalu larut dalam emosi itu."
Mario harap, dirinya bisa mengikuti ucapan Luna untuk tidak terlalu emosi. Namun, kekecewaan terus melingkupi dirinya.
Apa memang ia tidak pantas dicintai?
***
"Dia udah cerita?" tanya Gisel begitu Luna selesai menjelaskan kejadian di UKS tadi, mereka baru saja naik ke dalam mobil Gisel yang dikemudikan Mang Irman.
Dia yang dimaksud adalah Revano, tentu saja.
"Udah," jawab Mario, menatap kosong tanpa emosi ke luar jendela.
"Maaf, Mar."
"Nggak harus minta maaf, ini bukan salah lo."
"Tapi gue tetep ngerasa bersalah."
"Nggak usah repot-repot ngerasa begitu, tetep aja gue yang terlalu berangan-angan tinggi. Berharap itu kesalahan gue, dan kecewa adalah sanksinya."
Gisel mengembuskan napas pelan, ia memeluk Mario kemudian. "Lo nggak akan ninggalin gue, kan? Ini terdengar egois, tapi gue nggak mau kehilangan lo."
"Dan nggak mau kehilangan Revano? Tenang aja, gue bakal tetep tinggal. Gue serahin Revano ke lo, Sel. Biar gue aja yang ngerasa sakit, lo jangan."
Luna ikut menjadi sedih, ia juga ikut memeluk Mario yang ada di tengah-tengah dirinya dan Gisel.
"Gue harap, kekecewaan lo itu nggak berubah menjadi benci," kata Luna.
"Nggak akan. Gue udah kebanyakan kecewa, jadi udah terbiasa buat ngatasinnya."
Nyatanya, hati Mario tetap sakit, tetap hancur, tetap tak dapat kembali utuh lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Straight
Ficção Adolescente[ SELESAI ] Ini tentang mereka bertiga. Mario, Gisel dan Luna. Ini tentang mereka bertiga. Yang diam-diam menyimpan rahasia, yang diam-diam menahan sakit yang ada, yang merasa lelah raga. Ini tentang mereka bertiga. Bagaimana persahabatan mewarnai h...