DUA PULUH LIMA : Perbincangan Di Kafe

53.7K 6.2K 316
                                    

"Tadi ngomongin apa aja emang sama Gisel? Kok lama banget?" Mario bertanya sembari menyendok es krim rasa vanila miliknya, kemudian menatap Revano kembali dengan matanya yang bulat.

Revano menggeleng kecil. "Nggak ngomongin apa-apa, lo tau kalo Gisel selalu sensi sama gue karena hubungan kita."

"Oh, dia marah-marah lagi?"

Revano berdeham, agak tak enak hati karena harus berbohong. "Iya."

"Terus lo gimana?"

"Kebanyakan diem, tapi beberapa kali ngomong gara-gara omongan Gisel rada bikin gue gedek."

Revano mengembuskan napas pelan, sepertinya ia bisa menjadi aktor yang baik karena sudah berbohong selancar ini.

"Maafin Gisel ya, dia emang keras kepala dan nggak segan buat jujur dengan ngomong semua isi pikiran dia."

"Iya, Mar. Gue ngerti."

Gue juga tahu Gisel itu keras kepala, Mar. Dia nggak ragu buat ngalah juga, demi orang lain, dan ngancurin perasaannya sendiri.

Revano bersandar di kursi taman hiburan dan memejamkan mata, merasakan terik sinar matahari yang menyengat dan seakan menusuk-nusuk kulitnya. Es krim dalam cup berukuran bulat yang tinggal sedikit lagi mulai mencair, Revano tidak berniat menghabiskannya sehingga membuang makanan itu ke tempat sampah.

Mario juga bersandar ke kursi kayu itu, masih menikmati es krim yang seakan membebaskannya dari panas siang hari. Ia mengedarkan pandangan, memandangi setiap sudut taman hiburan. Orang-orang berlalu lalang, mulai dari anak kecil, remaja, hingga orang tua yang sepertinya sedang menikmati waktu bersama anak-anaknya.

Stan penjual makanan dan minuman juga berjajar rapi, berlomba-lomba memberi penampilan stan yang baik agar para pengunjung tertarik untuk datang dan membeli. Cara ini cukup berhasil, contohnya saja penjual es krim yang ramai dan laris manis gara-gara hiasan warna-warni pada stan mereka. Yang tentu saja menarik perhatian anak kecil dan para remaja yang hobi mengabadikan momen lewat kamera ponsel kapanpun dan di manapun.

Wahana permainan juga tak kalah ramai, bianglala masih berputar dan antrian yang ingin naik tampak panjang. Akhir pekan memang waktu yang pas untuk menikmati hidup yang terkadang selalu penuh dengan masalah.

Walaupun sebenarnya kalau tidak ada Revano, Mario lebih memilih untuk berbaring sepanjang hari di atas tempat tidur.

Mata Mario melebar ketika menangkap figur seseorang sedang berdiri di dekat stan penjual sosis dan berbagai olahan daging yang bakar. Cowok itu sendirian, dengan tangan kiri dimasukkan ke dalam saku dan tangan kanan menggenggam makanan yang baru dibelinya itu.

Bagaimanapun Mario tidak akan lupa siapa dia. Refleks, Mario bergeser mendekati Revano yang kini menaikkan salah satu alis karena bingung.

"Kenapa, Mar?"

"Eh? Eng-enggak, enggak papa."

Revano memperlihatkan ekspresi tidak percaya, ia mengikuti arah pandangan Mario dan melihat satu orang laki-laki sebayanya yang kini berjalan ke arah mereka berdua.

Siapa cowok itu?

"Hai, Mar," sapanya.

Mario langsung terlihat kikuk, ia mengangkat satu tangan dengan gerakan kaku. Bahkan gemetar karena gugup. "Hai."

Revano mengernyit tidak suka, melayangkan pandangan yang seperti berkata lo siapa?

"Ini siapa, Mar?" Adnan menatap Revano dengan pandangan penasaran.

"Seharusnya gue yang nanya lo siapa?" desis Revano dengan ekspresi tidak senang yang tidak ia sembunyikan.

"Oh, gue? Gue Adnan, mantannya Mario."

Adnan menunjukkan senyum ramah, Mario mendesah dan menyentuh lengan Revano. "Van, kita pergi aja yuk."

"Kenapa harus pergi?"

"Gue mau pulang aja."

Revano kini menatap Adnan dengan sorot yang lebih tajam dari sebelumnya. "Lo apain Mario sampe dia kayak gini?"

"Van, please. Kita pulang aja."

Tetapi Revano tetap dalam posisinya, menatap Adnan yang juga menatap balik dengan tatapan yang cenderung seperti puas akan sesuatu.

"Gue rasa mendingan kita bertiga nyari tempat buat ngobrol, enggak enak aja kalo ngomongin hal kayak gini di tempat umum. Gimana? Mau?"

Revano menoleh ke arah Mario, menaikkan alis sebagai untuk bertanya. Mario terpaksa mengangguk.

"A-ayo."

***

Cokelat dingin Mario masih belum tersentuh karena si empunya memalingkan muka ke arah jendela dan enggan membuka mulut, sedangkan Revano dan Adnan yang duduk di hadapannya terlibat dalam percakapan yang membuat jantung Mario seakan ingin melompat keluar.

"Seperti yang tadi gue bilang, gue ini mantan Mario." Adnan mengucapkan hal itu dengan santai, tetapi terdengar nada seolah puas dan bangga di sana.

"Gue cowoknya Mario," balas Revano dingin.

"Jadi ini pengganti gue, Mar? Boleh-boleh, seenggaknya lo udah nemu yang baru dan nggak terlalu sedih tentang hubungan kita dulu."

Rahang Mario mengeras, beralih menatap Adnan dengan pandangan benci. "Nggak usah bahas itu."

"Loh kenapa? Kita emang udah jadi mantan tapi kenangan kita nggak bakal hilang kan?"

Tiba-tiba Revano memotong. "Tolong hargai gue sebagai cowoknya Mario kalo lo masih pake otak buat mikir. Lo cuma mantan, nggak harus masuk lagi ke kehidupan Mario. Apa nyapa di taman hiburan tadi nggak cukup?"

Adnan terkekeh. "Selow, Bro. Lo nggak harus sensi kayak pantat bayi gitu. Gue nyadar status gue cuma mantan, salah kalo gue mau minta waktu sama Mario?"

Mario berdiri, tak tahan dengan atmosfer memuakkan ini. "Van, ayo pulang."

Revano berdiri, masih melayangkan pandangan tidak suka ke arah Adnan.

Tetapi ketika mereka baru melangkah, Adnan mengucapkan sesuatu. "Kita emang mantan, tapi jangan lupain kejadian-kejadian dulu ya, Mar."

Mario menggeleng, menarik tangan Revano cepat-cepat keluar dari kafe itu. Mereka masuk ke dalam mobil Revano dengan napas memburu.

"Dia mantan lo?"

"Ya."

"Kenapa dia segitu maksanya? Apa hubungan kalian belum tuntas?"

Mario menggeleng. "Nggak, Van. Gue udah nggak ada apa-apa sama Adnan."

"Semoga bener."

Mario menoleh. "Lo nggak percaya sama gue?"

"Gue percaya, Mar. Tapi gue nggak mau percaya sepenuhnya."

"Kenapa?"

"Karena percaya terlalu besar juga dapat mengakibatkan luka yang dalam, ketika takdir berkata lain sebab kepercayaan itu telah disia-siakan."

Baik Revano ataupun Mario membisu, karena masing-masing dari mereka mengetahui bahwa hal itu benar. Percaya terlalu besar kadang-kadang berakhir dengan kekecewaan.

***

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang