DUA PULUH DUA : Gisel dan Revano

55.9K 6.8K 421
                                    

Sinar matahari yang sudah lama menerobos tirai-tirai tipis kamar Mario tidak lantas membuat sang penghuni bangun, jam digital yang menunjukkan pukul sepuluh pagi lebih beberapa menit pun tak begitu membantu.

Bukannya bangun dan melakukan berbagai aktivitas di akhir pekan seperti yang biasa dilakukan Luna dengan berolahraga rutin yakni lari, Mario malah semakin dalam menenggelamkan dirinya sendiri dalam mimpi.

Selimut menutupi hingga ke batas dagu, surainya yang berwarna hitam kecoklatan acak-acakan, matanya yang terpejam itu tampak damai. Masih nyaman dalam posisi berbaring.

Di balik selimut, Mario hanya mengenakan celana super pendek berwarna hitam, tanpa memakai pakaian atas atau apapun itu. Mario memang lebih nyaman tidur dengan kondisi seperti, tetapi tentu saja kebiasaan ini hanya ia lakukan saat tidur sendirian.

Tiga kakak Mario sudah berusaha membangunkan adik bungsu mereka berkali-kali, tetapi tidak membuahkan hasil. Mulai dari Judith yang mencipratkan air tetapi hanya membuat Mario terbangun sebentar, berkeluh kesah dan tidur kembali. Lalu Kirana, yang lebih pantas disebut membujuk tanpa niat karena hanya menggoyangkan badan Mario beberapa kali lalu berlalu pergi.

Terakhir Lili, yang memakai cara paling elegan di antara mereka bertiga. Ia berteriak-teriak mengenai gempa, banjir dan kebakaran bergantian. Lalu beralih mendorong tubuh Mario sehingga terjatuh dari tempat tidur, baru kemudian memukul-mukul adiknya itu berulang kali dengan sadis menggunakan guling.

Tetap saja, dari tiga cara Judith, Kirana dan Lili yang berbeda-beda tidak dapat membuat Mario merasa perlu untuk bangun.

Dasar kebo.

Suara pintu yang dibuka tidak membuat Mario membuka mata, malah mendesah nyaman. Suara seseorang yang terasa familiar pun tak berefek seperti yang diharapkan, tangan orang itu mengguncang bahu Mario beberapa kali.

"Mar, Mar, bangun," ucapnya.

Mario berdecak pelan, membalas dengan suara yang terdengar serak. "Masih pagi ah, keluar dari kamar gue Kak."

"Mario, bangun," ulangnya lagi.

Mario kembali berdecak sebal, ia paling malas kalau agenda tidur nyenyaknya sudah diganggu. Padahal tidur di akhir pekan adalah sesuatu yang bisa Mario ibaratkan sebagai kenikmatan surgawi sesaat saking menyenangkannya.

"Mario, bangun."

"Duh, Kak. Jangan ganggu," hardik Mario.

"Bangun atau aku cium nih."

"Jangan ngelawak deh, Kak Lili. Najis amat gue dicium sama lo," balas Mario dengan dahi mengernyit tidak yakin, karena yang ia dengar adalah suara laki-laki.

Sejak kapan suara Lili berubah menjadi berat seperti ini? Sejak kapan kakaknya menjadi seorang laki-laki​?

Menyadari keanehan yang terjadi, Mario membuka matanya perlahan-lahan. Merasa aneh ketika seseorang menghalangi sinar matahari yang masuk ke kamar, menciptakan sebuah siluet cowok yang sedikit demi sedikit terlihat jelas di mata Mario.

Mario membelalakkan matanya ketika menyadari bahwa cowok itu adalah Revano, ia segera menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Terdengar gelak tawa yang berderai dalam kamar kemudian.

Mario merasa suhu tubuhnya naik seketika. Sepersekian detik setelah menyadari bahwa Revano lah yang berada di kamarnya, Mario merasa sangat malu. Apalagi dengan kondisi tubuhnya yang hanya terbalut celana super pendek.

Mario tidak keberatan jika Gisel dan Luna yang melihat, karena mereka tidak akan bereaksi aneh. Paling-paling hanya mencibir, mencela rasa percaya diri Mario yang tinggi dan mengatakan bahwa tubuh Mario hanyalah tulang-tulang yang dibalut kulit tanpa daging yang berarti.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang