TIGA PULUH DUA : Bekal Kevan

53.1K 6.3K 164
                                    

Happy reading.

Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***

"Pake jaketnya," titah Luna sembari melipat tangan di dada ketika Gisel bersiap-siap pergi ke sekolah. Seharusnya dia masih harus beristirahat, tetapi cewek itu tetap keukeuh untuk berangkat ke sekolah. Dasar kepala batu.

"Iya-iya, lama-lama lo makin cerewet kayak Mario. Eh, Mario mana?"

Luna mengangkat bahu. "Dia masih ngambek gara-gara omongan lo kemarin. Salah sendiri sih kenapa ngomong begitu, lo kan tau Mario itu lebih sensitif dari pantat bayi, lebih pundungan dari cewek PMS dan lebih labil daripada ABG baru pake beha," jelas Luna panjang.

"Sorry, gue juga lagi emosional waktu itu," gumam Gisel. "Yuk ah, Na. Berangkat. Lo nggak usah pake sepeda, bareng gue aja. Lagian pulangnya pasti sama si jerapah item Raja."

Keduanya pun berangkat ke sekolah dengan menaiki mobil Gisel yang dikemudikan oleh Mang Irman. Karena tidak tahu mengapa Mario tidak berangkat bersama selain karena cowok itu masih marah, Gisel pun membuka mulutnya untuk bertanya ke arah Luna yang kini sedang asyik menggali harta karun di dalam hidungnya.

"Luna gue mau na... jorok ih!" Gisel mendengus sebal dan menyerahkan kotak tisu yang hanya disambut Luna dengan cengiran lebar.

"Nanya apaan, Sel?"

Gisel membuka bungkus permen jahe dan memasukkan isinya ke dalam mulut. "Kenapa Mario nggak berangkat bareng kita?"

"Kan kata gue juga dia masih ngambek sama lo, ditambah sekarang dia kalo berangkat suka bareng Revano."

Gisel mendengus. "Masih aja hombreng si Mario."

"Biarin ajalah, Sel."

"Ya nggak bisa dibiarin, dia belum kembali ke jalan yang benar!" ucap Gisel dramatis.

"Ya ya terserah lo aja."

"Sekarang Mario lagi ngambek sama gue, jadi nanti pasti nggak ngedengerin omongan gue."

"Ngambek atau nggak pun dia nggak pernah ngedengerin omongan lo tentang begituan kali."

Gisel mengetuk-ngetuk dagunya, mencoba berpikir. "Gue pura-pura sakit aja kali buat minta dia lurus lagi?"

"Lo udah sakit, Sel. Kenapa harus pura-pura? Tapi gue nggak setuju, penyakit lo itu bukan hal yang bisa dimainin."

"Tapi kan ini istilahnya cuma buat gertak Mario aja."

"Iya deh iya, asal lo seneng deh."

Keadaan di mobil hening setelahnya, hingga mereka sampai di parkiran sekolah.

Tetapi ada yang aneh, ketika mobil mereka baru sampai seseorang langsung menghampiri, wajahnya cerah tatkala ia mengenali mobil itu.

Gisel melihat Kevan tersenyum ke arahnya ketika ia keluar dari mobil, sontak Gisel merasa sedikit malu dan hanya bisa tersenyum kikuk. Cowok itu menghampiri dengan senyum yang tak bisa lepas dari wajahnya, sebab kini ia merasa lebih senang daripada ketika bisa membeli novel incarannya.

"Hai, Sel," sapa Kevan.

"Hai ... Van," balas Gisel canggung. Pipinya terasa memanas, Gisel berharap bahwa pipinya tidak merona. Karena itu akan terlihat jelas di pipinya yang kini pucat.

"Syukur lo udah bisa sekolah lagi, udah sehat?" lanjut Kevan hangat, membuat Gisel tersenyum karena merasa diperhatikan orang lain. Selain Luna dan Mario.

Revano? Entahlah.

"Sel, gue duluan ya." Luna tersenyum maklum dan menepuk pundak sahabatnya itu dua kali, lalu berjalan terlebih dahulu dengan langkah-langkah panjang. Kemudian bertemu dengan Raja dan berjalan bersama.

"Udah lumayan."

Kevan tersenyum kembali. "Mau bareng?"

Gisel mengangguk. Oke, ia bukan senang lagi, tapi senang banget.

"Tapi lo nggak maksa buat sekolah kan?"

"Mau gimana lagi, kalo gue nggak maksa nanti makin ketinggalan pelajaran."

"Tapi kan bisa minta ajarin ke Mario sama Luna."

Gisel terkekeh sembari menggeleng. Rasanya itu tidak mungkin, apalagi Mario yang paling benci dengan pelajaran hitung-hitungan.

"Kalo dengerin guru ngejelasin kan lebih ngerti, Van."

"Iya, sih. Eh lo udah sarapan?"

Gisel diam selama beberapa saat. Sebenarnya ia belum sarapan, saat tadi di rumah pun ia berbohong pada Luna. Sungguh, Gisel sudah kehilangan nafsu makannya.

"Emm ... belum, sih."

"Loh kok belum? Ya udah, kebetulan gue bawa bekal, lo mau nggak?"

Kevan mengeluarkan kotak bekalnya yang berwarna abu-abu, lalu menyodorkannya pada Gisel. "Isinya emang cuma roti selai, sih. Tapi lumayan daripada nggak sarapan sama sekali."

Gisel menggeleng, merasa tidak enak. "Nggak usah, Van. Itu kan bekal lo, masa gue abisin."

"Nggak papa, lo makan aja."

Kevan sebenarnya sudah melakukan hal ini selama beberapa hari jika berangkat sekolah dan Gisel tidak hadir karena sakit, ia berharap cewek itu datang ke sekolah dan ia bisa memberikan perhatian berupa membuatkan bekal.

Kemarin-kemarin bekal yang ia buat berakhir di perutnya sendiri, tetapi kali ini tampaknya akan Gisel makan. Semoga saja.

"Itu kan bekal lo, Van."

"Makanya karena ini bekal punya gue, gue mau kasih aja ke lo. Daripada nggak sarapan."

Kevan menarik Gisel menuju kursi kayu yang ada di taman depan kelas. "Buka kotaknya, Sel."

"Beneran buat gue?"

"Iya, buka terus abisin."

Gisel membuka kotak bekal milik Kevan. Seperti yang dikatakan cowok itu, isinya berupa roti rangkap yang dilapisi selai stroberi. Tetapi ada satu hal yang membuat Gisel mengernyitkan dahi bingung, bentuk selai itu agak ... aneh menurutnya.

Mengapa harus berbentuk hati? Gisel mendongak dan menatap Kevan tidak mengerti dengan kedua alis terangkat naik.

Kevan langsung gugup dan mengusap punggung lehernya. "Mmm ... itu gue iseng aja sih. Kemarin gue malah bentuk bintang tapi gagal, jadinya gue bentuk segilima."

Gisel hanya terkekeh pelan, mengigit roti itu sedikit. "Makasih ya, Van."

"Sama-sama, abisin ya."

Dan keduanya larut dalam situasi yang canggung, Gisel yang menghabiskan bekal Kevan dan cowok itu yang berpura-pura sibuk bermain ponsel.

Walaupun sebenarnya hanya menggeser-geser menu saja.

"Makasih ya, Van," ucap Gisel setelah menghabiskan bekal Kevan.

Kevan tersenyum, menerima kembali kotak bekal yang disodorkan Gisel. "Iya nggak papa, lain kali jangan lupa sarapan ya, Sel."

Gisel mengangguk, mencoba berdiri walaupun lututnya terasa lemas. "Gue ... duluan ke kelas ya."

"Bareng aja. Nanti kalo lo pingsan gue diamuk Mario sama Luna lagi."

Gisel tertawa kecil. "Oke."

Untuk mencairkan suasana, Kevan melontarkan berbagai candaan yang berhasil membuat Gisel tertawa. Kevan bersyukur bahwa lawakannya tidak garing, setidaknya ia bisa melihat tawa cantik Gisel pagi ini.

"Sel, semangat belajarnya ya."

Gisel mengangguk. "Lo juga."

Lalu keduanya tersenyum.

Kadang ucapan sepele seperti itu sangatlah berharga.

***

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang