TIGA PULUH : Emosional

50.1K 6.4K 300
                                    

"Mar, berhenti dong nangisnya," ucap Gisel sembari mengusap-usap punggung Mario.

Keadaan itu sebenarnya aneh, karena yang seharusnya menangis dan perlu ditenangkan adalah Gisel, bukan Mario. Terbalik. Tetapi setelah mengetahui bahwa Gisel mengidap kanker darah, dia menangis meraung-raung, terisak-isak.

Untung saja tidak sampai berguling-guling di lantai atau kesurupan hingga berteriak : AING SAHA? AING MACAN.

"Mario, lo itu cowok masa meweknya kayak gitu sih?" timpal Luna.

"Abis ... Gi-Gisel sa-sakit," balas Mario, masih tak bisa menghentikan tangisnya.

Luna juga sedih, tentu saja. Tetapi reaksi Mario yang seperti itu malah membuatnya merasa geli, Gisel bahkan sudah cengar-cengir, menahan tawa agar tidak meledak dan menyinggung Mario.

"Mar, kan gue yang sakit, kok lo heboh gini, sih?" Gisel menghapus air mata Mario sekilas.

"Lo-lo sakit Gisel, ya gu-gue sedih ... lah!" Ucapan Mario yang terbata karena terpotong isakan membuat tawa Gisel pecah, Luna sempat mengernyit bingung, tetapi ikut tertawa ketika melihat wajah Mario yang kini terlihat aneh. Mata, hidung mungil dan pipinya memerah, sedangkan bibirnya yang merah muda sudah mengerucut sebal.

"HEH PAYUNG LIPET! KENAPA MALAH KETAWA?!" sentak Mario sebal.

"Abis ekspresi lo itu lucu banget tau, ngaca sono!" tukas Gisel.

"Kenapa dibilang lucu, sih?!" Mario berseru galak. Semua kesedihannya tetap tinggal, hanya saja rasa kesal dan egonya sedikit memuncak tatkala Gisel malah menertawakannya, padahal kan ia sedih dan menangis gara-gara dia juga.

"Emang lucu, Mar. Mau gue beliin kaca?"

"Gue kan lagi sedih," kata Mario, keukeuh membela dirinya sendiri.

"Tapi enggak usah segitunya. Kan gue yang sakit, bukan lo. Aneh banget."

"Tapi ya tetep aja! Kalo pun Luna yang sakit reaksi gue tetep bakalan gini. Gue tuh sedih, Gisel. Sedih! S-E-D-I-H!"

"Dasar lebay," cibir Gisel.

"Gue emang pantes sedih dan lebay apalah itu pas tau lo ngidap penyakit seberbahaya itu, Gisel."

Gisel mengembuskan napas, melirik Luna yang memilih untuk bungkam. Revano sendiri sudah pulang karena merasa tak enak hati, alasannya tak ingin mengganggu waktu tiga sahabat itu. Dia buru-buru pulang dengan ekspresi muram. Bahunya turun, tampak begitu tak bertenaga. Mario dan Luna mengira Revano tengah lelah, tetapi Gisel tahu apa penyebab Revano begitu lesu.

Dia khawatir. Dia ikut memikirkan kondisi Gisel. Bukannya merasa geer, tetapi jelas sekali terlihat dari sorot matanya yang menatap Gisel dengan sorot seakan terluka. Sebab kecewa mengapa Gisel baru memberitahu penyakitnya ini.

"Mar, lo nggak usah sedih," ucap Gisel menenangkan.

"Kenapa gue nggak harus sedih? Kan lo pu-"

"Apa dengan lo sedih dan mewek guling-guling gue bakal langsung sembuh? Kanker gue langsung hilang? Gue langsung sehat lagi? Nggak, kan?"

Mario diam, memalingkan muka.

"Nggak, kan? Jadi lo nggak​ usah sedih gitu. Gue juga biasa aja kok."

Mario menoleh dan memandang Gisel lagi, menggenggam tangan cewek itu dan menggoyangkan-goyangkannya seperti anak kecil. "Tapi gue gak mau lo punya penyakit itu."

Tangis Mario pecah lagi.

Gisel berdecak, mengusap air mata Mario dan mencubit pipinya gemas. "Gue juga nggak mau. Tapi ya gimana lagi? Kalo Tuhan emang berkehendak gue punya penyakit ini, gue cuma bisa bertahan, berdoa dan mencoba bersyukur aja."

Mario cemberut, menoleh ke arah Luna yang sedari tadi belum membuka mulutnya lagi. "Luna, belain gue dong."

"Gisel bener, Mar. Kita mending berdoa aja yang terbaik buat Gisel, mewek nggak akan menyelesaikan masalah."

Mario menunduk, masih cemberut. Ia melepas genggaman dan beralih memainkan seragamnya yang dikeluarkan.

"Tapi lo udah berobat, kan, Sel?" tanya Luna kemudian. Mario mendongak, memerhatikan ekspresi Gisel yang tiba-tiba berubah keras.

"Kok diem?" heran Luna.

"Lo udah berobat kan setelah tau lo punya penyakit ini?"

Gisel menyunggingkan sebuah senyum, tetapi bukan senyum tulus. Terlihat dipaksakan. Dan setelah beberapa lama, Gisel menggeleng lambat-lambat.

"Maksud lo apa geleng-geleng gitu?!" sahut Mario cepat, nada bicaranya naik.

"Gue nggak berobat, Mario." Gisel membalas dengan tenang, seolah itu bukan apa-apa. Meskipun sedetik kemudian langsung mendapat reaksi keras dari dua sahabatnya.

"Lo belum berobat?!" Mario menampakkan ekspresi seperti singa yang hendak menyerang mangsanya. Mata bulat cowok itu​ tampak seperti akan keluar ketika dia melotot. "Maksudnya apa?! Lo punya penyakit bahaya kayak gini dan lo nggak berobat?!"

"Gisel, lo kenapa begini? Please kalo lo emang belum berobat, ya berobat sekarang."

Gisel menggeleng lemah, wajahnya yang pucat tampak semakin mengkhawatirkan karena rona di pipinya hilang sedikit demi sedikit. "Buat apa gue berobat ketika harapan buat hidup malah tinggal sebentar lagi?"

"Setidaknya lo udah berusaha, Gisel." Luna memijit pelipisnya karena pusing, tidak mengerti dengan jalan pikiran Gisel.

"Lagian buat apa gue ngelakuin itu? Toh gue akhirnya juga bakal mati, kan? Dan siapa yang bakal peduli? Orang tua gue pun nggak akan ... peduli sama gue. Mereka nggak pernah pulang."

Gisel berujar sedih, pandangannya mengabur saat air mata siap untuk mengalir jika ia berkedip sekali saja.

"Siapa yang bakal peduli lo bilang?" Mario turun dari tempat tidur dan mendengus keras. "Siapa yang bakal peduli? Lo nganggep gue sama Luna keluarga lo tapi lo bilang siapa yang nggak bakal peduli?! Gue baru tau ternyata pemikiran lo tentang kita cuma segitu. Ok, fine."

Mario berbalik, keluar dari kamar dan membanting pintu keras-keras.

"Jadi gitu ya, Sel?" Luna bertanya dengan senyum tipis yang tercetak di wajahnya.

Gisel menggeleng. "Bukan gitu. Mungkin gue terlalu emosional jadi ngomong kayak tadi, tapi yang kayak gini rasanya ... nggak ada harapan."

Luna tidak seemosional Mario, sehingga ia tidak langsung ngambek dan meninggalkan Gisel.

"Lo udah kasih tau orang tua lo soal ini?"

Gisel lagi-lagi menggeleng. "Belum."

"Kasih tau mereka, Sel. Mungkin ini cara Tuhan buat bikin keluarga lo ngumpul lagi. Tapi, please berobat cepet-cepet, seenggaknya kalo lo nganggep orang tua lo nggak bakal peduli, tolong berusaha sehat buat gue dan Mario."

Luna memeluk Gisel, menepuk-nepuk punggung cewek itu saat Gisel menangis terisak. "Lo harus kuat."

Entah mengapa, ada lima orang yang begitu dipikirkan Gisel sekarang. Ia harus sembuh untuk mereka, tetapi perkiraan dokter tentang sisa hidupnya membuat Gisel merasa sangat pesimis.

Untuk orang tuanya, yang walaupun hanya menorehkan memori saat kecil dan jarang sekali ada di rumah.

Untuk Mario dan Luna, yang selalu ada di sisinya apapun yang terjadi.

Dan terakhir, Gisel tidak mengerti bahwa ia malah memikirkan cowok itu dan kenangan mereka.

Bukan Kevan, melainkan Revano Pradipta.

***

Maaf beberapa hari ini saya belum update cerita satupun karena ada kesibukan yang nggak bisa ditinggal heuheu

Setelah ini insya Allah saya akan rutin lagi update.
Keep voment ya.

Ok, see you.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang