DUA PULUH DELAPAN : Tiara

50.3K 6.1K 217
                                    

Mario dan Luna baru saja keluar dari kelas ketika seseorang menghentikan langkah mereka berdua, keduanya langsung menoleh ke arah sumber suara yang kini tersenyum lebar. Menampilkan cengiran khas di wajahnya yang kecoklatan.

"Hai," sapa Raja.

"Hai," ucap Luna dan Mario kompak.

Mario mendengus, ia yakin sebentar lagi Luna akan pergi meninggalkannya dan pulang bersama Raja. Menyebalkan. Beginilah kalau masing-masing dari mereka sudah mempunyai orang yang disukai, maka ketiganya akan berpencar dan jarang berkumpul.

Mario melipat tangan di dada, memerhatikan figur Raja dengan posisi mendongak karena tinggi mereka ​yang berbeda jauh. Tubuh Raja menjulang tinggi seperti tiang sempat membuat Mario minder, tetapi rasa tidak percaya diri itu segera ia buang jauh-jauh karena mereka berdua memiliki pesona yang berbeda.

Mario yang termasuk tipe cowok manis apalagi dengan lesung pipinya tentu berbeda dengan Raja yang berwajah maskulin serta kulit kecoklatan khas sering terkena sinar matahari, keduanya juga memiliki keahlian di bidang yang berbeda. Mario di keterampilannya berbicara dan Raja di bidang olahraga.

"Luna mau dipinjem lagi?" tanya Mario, masih dalam posisi melipat tangan di dada.

"Emang gue apaan dipinjem-pinjem," sahut Luna tidak terima.

Raja terkekeh, mengusap punggung leher dengan tangan dan senyum mengembang. "Luna pulangnya sama gue boleh, Mar?"

Mario mengangkat bahu. "Terserah, kalo Luna mau ya silakan. Awas aja kalo​ dia lecet meskipun dikit."

Raja nyengir. "Siap."

"Ya udah, sana."

Mario mendorong tubuh Luna sehingga cewek itu hampir menabrak Raja.

"Mario!" kesalnya.

"Apa?"

Luna mendengus. "Ayo ah, Ja."

"Ayo. Kita duluan, Mar."

Mario menggerakkan tangan dengan gestur seperti mengusir, Luna berbalik sebentar dan menjulurkan lidah mengejek.

Mario mendesah, menyisir rambut dengan jari dan berbalik, memutuskan untuk pergi dulu ke kantin.

Tetapi Mario refleks nyebut ketika mendapati Tiara sangat dekat wajahnya dengan wajah Mario sendiri. "ALLAHUAKBAR!"

"Eh? Gue ngagetin ya? Hehe, maaf, Mar."

Mario berdecak, mengelus-elus dada dengan ekspresi yang masih terlihat shock. "Tadi ngapain sih?"

"Nggak ngapa-ngapain, gue cuma mau ​nyapa lo."

"Nggak gitu juga kali."

"Maaf-maaf."

Tiara tampak celingak-celinguk, seperti sedang mencari seseorang tetapi orang itu tak dapat ditemukan. "Luna mana, Mar?"

"Balik sama Raja."

"Oh, sekarang mereka deket ya?"

"Iya."

Mario melangkah menuju kantin, meninggalkan Tiara yang kini berusaha mensejajarkan langkah dengan Mario yang berjalan dalam tempo yang cepat.

"Kalo Gisel kemana? Tumben kalian enggak bertiga, soalnya kalian udah kayak contoh persahabatan cowok cewek yang berhasil di SMA ini sih."

"Gisel nggak sekolah, sakit. Maksud lo berhasil apaan?"

Mario menghampiri penjual batagor, memesan satu. Tiara ikut melakukan hal yang sama.

"Jadi gini, kebanyakan orang nganggep persahabatan antara cewek dan cowok itu nggak mungkin, sesuatu yang mustahil ada. Kenapa? Karena salah satu pasti punya rasa lebih dari sekadar temen, yaitu suka sama lawan jenis."

Mario merasa geli dalam hati, karena situasi yang diceritakan Tiara tidak mungkin terjadi dalam ikatan persahabatannya dengan Gisel dan Luna. Sebab Mario kan tidak menyukai lawan jenis, sedangkan Gisel naksir berat sama Kevan, serta Luna yang kini mulai lurus jelas memilih Raja sebagai kandidat pacar normal pertamanya.

"Kata siapa nggak bakal berhasil? Gue buktinya."

"Ya itu kan anggepan orang-orang, realitanya suka beda."

Mario mengunyah suapan pertamanya, mendelik ketika Tiara melakukan hal yang sama lagi. Padahal kan tidak perlu berbarengan seperti ini, Mario merasa terganggu. Lagipula mereka tidak begitu saling mengenal.

"Kenapa lo ngikutin gue makan di sini?" tanya Mario akhirnya.

"Eh? Salah ya? Gue cuma mau kita temenan, Mar.

Walaupun gue pengen lebih, batin Tiara.

"Oh, tapi lain kali jangan ngikut-ngikutin gue."

"Maaf ya, lo pasti ngerasa keganggu."

"Hmm."

"Oh iya, Mar. Gisel kan nggak sekolah karena sakit, dia itu sakit apa sih? Kok gue liat-liat sering banget dia absen gara-gara sakit gitu."

"Gue juga nggak tau sih, kata dia sih maag. Tapi gue nggak percaya, masa maag mimisan terus? Nggak nyambung."

Tiara diam sebentar, keningnya berlipat-lipat tanda sedang berpikir keras. Kepalanya sedang mencoba menghubungkan setiap fakta yang diungkapkan Mario.

"Dia sering ngerasa lemes nggak?" tanya Tiara, mencoba memastikan pemikirannya.

Mario langsung mengangguk. "Banget, dia sering lemes atau malah gerak dikit aja nggak ada tenaga."

Tiara memandang sepiring batagornya, lalu mengedarkan pandangan ke kantin yang sepi.

"Mar, gue boleh ngungkapin dugaan gue nggak? Tapi lo jangan kaget atau kesinggung ya."

Alis Mario bertautan, tidak mengerti mengapa Tiara berkata seperti itu. Bukankah dia tinggal mengucapkan saja pendapatnya? Mengapa harus meminta Mario untuk tidak kaget dan tersinggung? Firasatnya menjadi tidak enak sekarang.

"Kenapa?"

"Gini ya, Gisel kan sering banget absen nggak sekolah gara-gara sakit. Nah, dia sering mimisan terus lemes gitu. Kok gue curiga sama takut kalo dia punya kanker darah?"

Mario membelalak kaget, tidak pernah sekalipun menduga hal semengerikan itu. Kanker? Tentu saja ini adalah hal yang serius.

Melihat Mario yang diam membisu, Tiara buru-buru membuka mulut kembali. "Soalnya almarhum Abang gue juga begitu, dia sering mimisan dan lemes banget. Gue takut Gisel juga kayak gitu. Ini cuma dugaan gue, tapi mendingan Gisel buru-buru dibawa ke rumah sakit buat periksa deh."

Mario kehilangan nafsu makan sekarang, dugaan Tiara benar-benar​ membuat perasaannya tidak menentu.

Tiba-tiba terdengar dering ponsel berbunyi, Tiara membawa benda pipih berwarna putih dan menempelkannya ke telinga.

"Halo? Kenapa? I-iya, Ma. Aku pulang sekarang."

Tiara memasukkan ponselnya lagi ke dalam tas dengan ekspresi seperti tak enak hati, ia memandang Mario dengan sorot meminta maaf.

"Mmm ... Mar, gue duluan ya. Maaf kalo dugaan gue bikin lo shock, ini cuma dugaan aja kok, mungkin cuma gue aja yang sok tau. Gisel pasti baik-baik aja."

Tiara bangkit, tersenyum sopan dan pergi meninggalkan Mario yang masih terdiam seribu bahasa. Mulutnya terbuka sedikit, matanya masih membelalak.

Tidak mungkin. Gisel pasti baik-baik saja. Di keadaan hati tidak menentu seperti ini, Mario rasanya ingin menangis saking khawatirnya.

Tidak, Giselnya pasti baik-baik saja.

***

Q and A di chapter depan, seperti biasa siapin pertanyaan kalian​ ya. Tapi jangan tanya di sini, tapi nanti di chapter depan.

Btw saya mau nanya nih.

Kalian tau cerita Straight ini dari mana?

Ok, see you.

StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang