Kita jalan pelan-pelan bisakan?
Amel, nama itu terus berputar dalam otak Vean. Kenapa Dave bisa sangat mencintai Amel tapi tidak dengannya, lalu dimana Amel sekarang? Memikirkannya selalu membuat Vean pusing. Gara-gara kejadian kemarin Vean tidak berani bertemu dengan Dave, dia takut akan ada suasana canggung diantara mereka.
"Kenapa sendirian?"
Vean menoleh kebelakang sebentar melihat pemilik suara yang menyapanya.
"Yang lain di lapangan."
Brina dan rossi, mereka memang sedang menonton basket sekarang karena Alex dan Gino ikut bermain, sebenarnya Vean ingin ikut menonton tapi dia malas kalau harus mendengar suara teriakan dari semua siswi yang duduk di tribun karena Vean tidak terlalu suka dengan keramaian hatinya selalu bilang keramaian telah merenggut sesuatu yang berharga darinya dan Vean tidak ingat apa itu.
"Gue udah mutusin."
"Mutusin apa?" Vean mengangkat sebelah alisnya, "Ngelupain Amel atau ngizinin aku masuk?"
Brina benar Vean memang selalu berkata jujur masalah pendapatnya.
"Dua-duanya,"
"Jangan kasih aku harapan."
Vean menghela napasnya pelan lalu beranjak dari kursinya. Harapan, Vean tidak mau merasakannya hal itu baginya harapan hanya akan membuatnya jatuh entah jatuh karena disakiti atau karena takdir.
Dave hanya bisa menatap punggung Vean yang sudah menjahui kantin, begitu sulit baginya untuk membicarakan tentang perasaan, dia tau Vean pasti sudah sangat tersakiti karena ulahnya selama ini.
Mata Dave menoleh malas melihat Kano yang berjalan ke mejanya, Kano tersenyum dan Dave hanya membalas dengan wajah datarnya, senyuman Kano seperti hinaan baginya, Dave tau Kano tidak bersalah karena cinta tidak bisa dipaksakan tapi setiap kali melihat Kano dia selalu ingat kenangannya bersama Amel yang lenyap karena kedatangan Kano.
"Dave?" Kano menatap Dave yang masih fokus pada ponselnya.
"Hm."
"Jangan sakitin Vean."
Dave meletakan ponselnya di meja, dia menimbang-nimbang perkataan Kano, apakah begitu berarti Vean untuknya karena Kano di depannya tidak seperti Kano yang dia kenal sejak kecil.
"Kalau lo suka sama dia kenapa gak lo deketin aja."
"Sayangnya gak bisa."
Apa ini, semua perkataan Kano seperti teka-teki untuknya, kenapa Kano terlihat rapuh sekali setiap kali membicarakan Vean.
"Jangan pernah buat dia nangis," kano tersenyum getir, "Dia berharga banget buat gue."
Kano pergi meninggalkan Dave yang masih menatapnya bingung, Kano sadar dia tidak bisa memaksa perasaan Vean sekarang karena Vean tidak mengingatnya sama sekali. Sekarang hanya waktu yang bisa menentukan semuanya.
Jika memang takdir berpihak padanya Kano yakin Vean akan kembali padanya lagi.
Bel pulang sudah berbunyi dari tadi tapi Vean, Brina, dan Rossi masih ada dikelasnya karena mereka harus membersihkan kelas jika tidak Bu Nisya akan marah besar besok kalau melihat kelas mereka yang sudah seperti penampungan sampah.
"Coba aja jam pertama bukan Bu Nisya gue bisa pulang duluan sekarang." celutak Brina.
"Kenapa lo ada janji sama Alex?" tanya Rossi,
"Lo sendiri gimana sama Gino?" Rossi hanya tersenyum mendengar pertanyaan Brina tapi pandangannya langsung sayu saat melihat Vean yang terlihat kurang bersemangat.
"Lo gapapakan Ve?"
Rossi tau Vean pasti akan menjawab kalau dirinya baik-baik saja tapi Rossi juga tau Vean adalah orang yang menyimpan banyak duka dihatinya.
"Gue cuma capek aja," jawab Vean tersenyum.
Terkadang Vean ingin menceritakan semua keluh kesahnya pada kedua sahabatnya itu tapi apa yang harus dia ceritakan saat Vean sendiri tidak tau kenapa dia selalu menangis setiap malam, kenapa dia selalu merasa bahwa dia menyimpan rahasia besar dalam hidupnya. Vean tidak tau sampai kapan waktu akan terus ikut bermain dalam kehidupannya.
Brina dan Rossi menghampiri Vean lalu memeluknya, Vean memang orang baru bagi mereka tapi Vean sudah memliki tempat tersendiri di dalam hati. Mereka selalu merasa kalau Vean itu seperti debu yang harus mereka jaga agar angin tak menerbangkannya.
"Ve kita sahabat lo kalau ada apa-apa bilang aja." tambah Brina.
"Gue gapapa kok."
Vean meraih tasnya dia tidak kuat kalau harus berlama-lama lagi dengan kedua sahabatnya, dia tidak mau kalau harus berakhir dengan menangis karena itu akan menunjukan kalau dirinya lemah.
Halte bus, tempat yang selalu menjadi incaran Vean setiap kali dia merasa kalau hatinya sedang sedih. Entah apa yang telah terenggut darinya, Dia tidak tau apa itu tentang kakaknya tapi orang tuanya bilang kakaknya meninggal karena sakit.
Waktu terus berjalan tapi Vean masih berdiam, apa tuhan akan terus membiarkan Vean terinjak oleh orang-orang yang berlari mengejar waktu?
"Gue udah nungguin lo sejam lebih di parkiran dan ternyata lo disini,"
Vean kembli tersenyum dia tidak mau ada orang lain yang berhasil membaca raut wajahnya, karena ini masalahnya dia tidak butuh siapapun untuk ikut campur.
"Kamu gak bilang kalau mau pulang bareng " ucap Vean enteng.
"Perasaan gue udah pernah bilang kalau yang antar jemput lo sekarang gue."
Ah sial, Vean lupa kalau Dave pernah mengatakan itu karena banyak hal yang terus mengganggunya akhir-akhir ini.
"Yaudah ayo," Dave manarik tangan Vean agar dia berdiri tapi tangan Dave dihempaskan begitu saja oleh Vean.
"Maaf aku bukan Amel,"
Dave tersenyum mendengar perkataan Vean, dia kembali meraih tangan itu dan menggenggamnya lembut.
"Kamu Vean dan akan selamanya begitu."
Vean tidak tau kenapa tuhan selalu mempermainkan hatinya, saat Vean mulai goyah dan rapuh mempertahankan sesuatu yang memang tidak pernah tergenggam olehnya tapi saat itu juga dunianya selalu dijungkir balikkan.
Tidak ada percakapan sama sekali selama perjalanan, Dave terus melajukan motornya dengan kecepatan standar, dia tau Vean sedang gelisah sekarang karena dia dapat melihat Vean yang tidak menikmati angin yang menyentuh kulitnya.
Motor Dave berhenti saat melihat kedai es krim di pinggir jalan. Dia menyuruh Vean untuk turun dan mengikutinya.
"Lo suka rasa apa?"
"Coklat."
Vean tidak tau sampai kapan Dave akan terus bermain dengan hatinya, dia selalu seenaknya datang dan pergi, menerbangkan dan menjatuhkan Vean, namun Vean juga selalu bodoh menanggapinya karena dia tidak bisa menyingkirkan perasaannya.
"Nih." Dave memberikan es krim pada Vean, "Gue mau kita jalan pelan-pelan."
Kita? Apalagi ini Dave seharusnya dia sadar satu kata itu bisa membuat Vean terbang saat itu juga.
"Gue gak tau lo percaya apa gak sama gue, tapi gue mau memulainya semuanya dari awal," Vean masih terdiam menatap Dave, dia tidak peduli es krimnya yang mulai mencair sekarang.
Dave kembali menggenggam tangan Vean, "Ve gue gak tau sejak kapan lo masuk dalam kehidupan gue dan sejak kapan lo berhasil nempatin tempat khusus di hati gue, tapi gue rasa sekarang waktunya buat gue nerima itu semua."
Vean tersenyum, dia tidak tau kata-kata Dave sukses membuat hatinya memiliki titik terang atas segala perjuangannya selama ini.
"Jadi bisakan kita jalan pelan-pelan?"
Vean hanya mengangguk mendengar pertanyaan Dave yang masih menggenggam satu tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DaVean (Completed)
Novela JuvenilVeana Josephine gadis periang yang mencintai Dave Alredyo dan selalu menyatakan cintanya secara terang-terang. Tapi ketika waktu memberinya kesempatan dia malah menjahui Dave. Rahasia (Sesuatu yang disembunyikan demi kebaikan atau keburukan)