Lelaki dengan kemeja flanel biru dan dalaman kaos putih itu sibuk mengobrak-abrik isi lemarinya mencari celana jeans yang akan ia gunakan untuk melengkapi style berpakaiannya.
Rambut yang beberapa menit lalu ia tata rapi dengan gel rambut, kini sudah kembali berantakan karena ulahnya yang saking kerasnya mencari keberadaan celananya, membuat tangannya gatal untuk mengacak-acak rambutnya.
Kalau bukan karena celana jeans tersebut adalah pemberian dari kekasihnya, Saveri tak akan sepusing ini mencarinya. Apalagi sekarang ia akan berkencan dengan kekasihnya. Tentu saja celana itu akan sangat membantu kesuksesan kencan mereka.
Dengan celana training warna hijau dengan garis putih di kedua sisi jahitan yang masih ia kenakan, lelaki itu bergerak ke arah ranjang king sizenya untuk mengambil ponsel yang sedari tadi berdering.
Dari sekian banyak pesan masuk dari pengirim yang berbeda, jempol Saveri mendarat pada nama yang paling banyak mengiriminya pesan.
Rindunya Saveri: Pacarku 😘
Rindunya Saveri: Malam jum'at ngapain? Jalan-jalan yuks..
Rindunya Saveri: Kita kencan
Rindunya Saveri: Di malam jum'at ini. Hanya kita berdua.
Rindunya Saveri: Pacar, aku ke rumahmu ya
Rindunya Saveri: Kok pacar nggak ada?
Rindunya Saveri: Kata Bunda pacar beli obat ya? Obat apa? Pacar sakit?
Rindunya Saveri: Aku capek nungguin Pacar nggak pulang-pulang. Jadi aku pulang dulu yah..
Rindunya Saveri: jangan kangen 😝
Rindunya Saveri: Aku bawa oleh-oleh btw 😆
Setelah membaca pesan tersebut, tanpa pikir panjang Saveri berderap ke pintu.
Anya sudah akan bersiap mengetuk pintu kamar Kakaknya itu. Tangannya mengambang di udara saat ketika kakaknya muncul dari balik pintu. Anya meneliti penampilan Saveri dari atas ke bawah. Dahinya mengernyit dan bibirnya menahan tawa geli.
"Nggak usah ngeledek," kata Saveri dengan ketus.
Anya yang mendengar perkataan ketus dari Kakaknya hanya memutar bola mata. "Lagian aneh tau, nggak, sih, Bang. Mau kencan juga pakaiannya begitu amat. Ah, bomat juga, dah. Eh iya, Kak Karin di bawah udah nungguin, noh. Lama amat kayak cewek lo."
Saveri tak menjawab, ia langsung melenggang pergi ke bawah untuk menemui dulu kekasihnya.
***
Suara musik menghentak di penjuru ruangan dengan nuansa biru langit ini. Sang pemilik kamar sedang berada di beranda kamarnya dengan telepon yang menempel di telinga.
"Yah, gue ajakin kencan juga nggak dibales, malah diread doang," cibir gadis itu dengan sebelah siku ia tumpukan di besi pembatas berandanya.
Angin malam semakin berembus. Pakaian tidur berwarna biru dengan beruang besar tepat di perutnya membuat tubuh Rindu sedikit menggigil. "Tu cewek udah kayak kunti. Keluar kencan pakek putih-putih. Gue nggak mau tahu, An. Lo sebagai Adiknya musti ngelarang!" Katanya dengan tegas.
Suara pintu diketuk menginterupsinya untuk menoleh. "Yaudah, deh, An. Kayaknya pacar gue beneran ke sini." Ia terkikik sebentar. "Bye, Adik Ipar."
Gadis itu melangkah untuk mengecilkan volume musik dan berjalan ke arah pintu untuk ia buka. "Iya, bentar."
Dari balik pintu, ia mendapati Mamanya dengan pakaian tidur celana panjang dan wajah putih oleh masker tak lupa juga rambut yang roll menyambutnya. "Rindu, Rindu, kamu buat ulah apalagi sampek Saveri malem-malem nyari ke sini? Sana samperin!"
"Oke, siap, Ma!"
***
Saveri berdiri di teras dengan kedua tangan berada di pinggang. Tiba-tiba ada sebuah tangan melingkar di sekitar tubuhnya. Tanpa memutar badan pun, Saveri sudah tahu siapa pelaku tersebut.
Saveri segera memutar tubuhnya dan melangkah beberapa langkah ke belakang menjauhi gadis yang berumur empat tahun di bawahnya ini.
"Hai, Pacar," sapa Rindu itu dengan cengiran lebar.
"Balikin celana jeans gue!" Tanpa basa-basi, Saveri berujar.
"Yah, belum gue foto, juga." Rindu mendesah kecewa.
"Gue nggak mau tau. Balikin sekarang atau gue masuk paksa ke kamar lo," ancam Saveri yang selalu berhasil membuat Rindu menuruti perkataannya.
Gadis itu kemudian berbalik untuk mengambilkan celana jeans yang entah sudah ke berapa ia tilap. Entah kenapa Rindu suka sekali mengambil barang-barang Saveri untuk kemudian ia foto dan dijadikan album tersendiri.
Dan mengenai ancaman Saveri tadi, Rindu sangat tidak memperbolehkan siapapun memasuki kamarnya jika tidak ada kepentingan yang mendesak, tanpa terkecuali. Untuk urusan bersih-bersih, Rindu masih bisa melakukannya sendiri.
"Nih." Rindu menyodorkan lipatan kain yang Saveri yakini sebagai objek yang membuatnya harus lagi-lagi berurusan dengan gadis pengganggu di depannya ini.
Dengan sekali tarikan, kain tersebut sudah beralih ke tangan Saveri. Lelaki itu kemudian berbalik pergi tanpa mengucapkan kata-kata apapun.
"Kapan lo bisa nerima perasaan gue? Jangan bilang kapan-kapan. Karena nunggu kapan-kapan itu pasti lama," gumam Rindu dengan menundukkan kepalanya.
***
26 Juli 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU √ [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA] [PART MASIH LENGKAP] Rindu percaya dengan pepatah yang mengatakan, "Usaha tidak pernah mengkhianati hasil." Maka dari itu dia tidak akan menyerah akan cintanya. Saveri, lelaki dingin, ketus, cuek juga kasar. Harusnya...