• F O U R T H T E E N •

1.3K 67 6
                                    

Saveri dan Karin duduk di kafetaria kampus. Menjadi pemandangan yang biasa jika banyak pasang mata mengarah ke mereka. Baik Saveri atau Karin pun juga tidak pernah peduli mereka menjadi pusat perhatian.

"Kamu mau baksonya, nggak?" tanya Karin sambil menyantap bulatan terakhir bakso di mangkuknya dan berniat menghabiskan bakso milik Saveri yang tidak sekalipun disentuh lelaki itu.

Saveri sedang tak napsu makan. Biasanya aroma bakso pun sudah mampu menggugah selera makannya. Tetapi entah kenapa, melihat semangkuk bakso dengan kuah yang masih mengepul uap panas pun, ia tak tergoda sama sekali.

"Hm...ambil aja kalau mau."

Karin ini seperti Saveri. Ia sangat addict dengan bakso. Jadi sangat disayangkan untuk menyisakan barang satu potong dari bulatan daging tersebut.

"Tumben nggak kamu makan. Kenapa?"

Saveri menggeleng. Ia juga tidak tahu kenapa ia bisa tidak tergoda dengan bakso. Pikirannya sejak beberapa menit lalu hanya terfokus ke layar ponselnya yang menghitam di dekat sikunya.

"Awas nanti ngajakin kulineran makan bakso. Aku nggak mau gendutan pas kita tunangan nanti."

Saveri melirik Karin. Memang benar pacarnya itu sedikit kurusan. Mungkin dikarenakan perempuan itu ingin tampil semaksimal mungkin di acara tunangan mereka nanti.

Tangan Saveri bergerak mengelus puncak kepala Karin dengan lembut. "Nggak papa kamu gendutan. Kan aku makin gemes pengen nguyel-nguyel kamu." Kata Saveri diakhiri dengan mencubit pipi tirus gadisnya.

Karin memasang wajah cemberut sambil mengusap bekas cubitan Saveri. "Kebiasaan deh main nyubit pipi anak orang. Aku ingetin ya, aku ini masih produknya Ayah sama Ibu."

Saveri terkekeh gemas dengan tingkah dan gaya bicara pacarnya ini. "Duh, jadi nggak sabar pengen halalin kamu, kan."

"Nyari duit dulu yang bener, sayangkuh."

Lagi-lagi Saveri terkekeh gemas dengan jawaban pacarnya itu.

Karin tiba-tiba berdiri dari tempatnya duduk. "Aku ke toilet bentar, ya?"

Saveri mengangguk. Setalah beberapa detik gadisnya pergi, ia jadi lebih gusar. Berkali-kali ia melirik layar ponselnya yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan. Tanpa pikir panjang, ia sambar ponselnya dan mengetik pesan kepada seseorang.

Saveri : Inget! Nasgornya harus lo yg makan!

Beberapa detik menunggu, akhirnya Saveri mendapat balasan.

Rindu : Iyaaa, Bawel.

Saveri sedikit bernapas lega, tapi ia masih tidak percaya sepenuhnya dengan apa yang Rindu katakan.

Saveri : Coba pap

1 menit, 2 menit, 5 menit, Saveri tidak mendapat balasan, padahal pesannya sudah dibaca.

Karena gemas tak kunjung mendapat balasan, Saveri memvideo call Rindu. Beberapa detik akhirnya diangkat. Bukan wajah Rindu yang Saveri temukan, melainkan wajah menyebalkan dari laki-laki yang ia wanti-wanti akan memakan nasi goreng buatannya.

"Ngapain lo yang angkat? Rindu mana?"

Gambar wajah Gavin sedikit buram, mungkin dikarenakan jaringan yang tidak stabil.

"Gue kasih tahu nggak, ya?"

Saveri biasanya malas menanggapi, tapi ia butuh bicara dengan Rindu sekarang.

"Kasih HPnya ke Rindu, gue males ngomong sama lo."

"Rindu nggak ada. Dia dipanggil ke ruang guru tadi. Eh, makasih ya nasgornya. Buatan lo lumayan lah ya,"

RINDU √ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang