Rindu bisa saja terkena serangan jantung kalau saja bayangan hitam tadi tidak segera mengeluarkan suara terbatuk.
"Ini gue bawain batagor."
Rindu mengelus dada untuk menenangkan detak jantungnya yang tak karuan. Demi apapun, ia takut hantu. Sekali lagi ia menatap bayangan hitam tadi lamat-lamat.
"Ya ampun, Kak Veri ternyata. Syukur, syukur."
Rindu menerima kantung kresek yang diulurkan Saveri dan menghirup aroma sedap dari batagor yang masih hangat tersebut.
"Dari mana kakak tahu kalau aku laper?"
Saveri merogoh saku celananya dan mengeluarkan HPnya, kemudian membuka aplikasi senter. "Lo kan emang selalu kelaperan."
Rindu cemberut. Bukan itu yang diharapkannya, tapi yasudahlah. Memang tidak ada yang musti diharapkan lagi dari lelaki seperti Saveri ini. Terlalu banyak makan hati nggak bikin kenyang perutnya.
"Yaudah, aku makan kalau gitu. Makasih, ya,"
Saveri tak menjawab. Dia hanya tetap berdiri di tempat sembari mengarahkan cahaya senter HPnya ke arah Rindu.
"Aku tu ya, Kak, takut sama hantu-"
"Nggak ada yang nanya."
Rindu berbalik dengan mencebikkan bibirnya. Karena cahaya yang terlalu silau dari senter HP Saveri, ia tidak bisa melihat jelas bagaimana ekspresi wajah lelaki itu sekarang.
Dan tanpa sepengetahuan Rindu, Saveri tersenyum.
Rindu berbalik lagi dan kembalisibuk menyiapkan batagor tadi.
"Hantu, uler, sama kacang aku nggak suka-"
"Gue nggak peduli." Lagi-lagi Saveri memotong perkataan Rindu dengan sengaja untuk menggoda gadis itu.
Dari tempatnya, Rindu hanya mengembuskan napas karena tanggapan yang diberikan oleh Saveri.
"Tapi kakak tahu nggak apa yang aku suka?"
Hening. Saveri tak menjawab. Ia kali ini membiarkan Rindu meneruskan perkataannya.
"Aku suka jus alpukat, kucing, sama aku suka..." Masih dengan posisi memunggungi Saveri, Rindu menjeda ucapannya. Ia menggigit bibir bagian bawah karena gugup. "Aku suka kakak."
Rindu jelas saja sekarang tak ingin mendengar apapun yang keluar dari mulut Saveri. Dan entah bagaimana ia tahu, Rindu segera menyahut sebelum Saveri berniat mengeluarkan suaranya.
"Nggak usah dijawab. Mending sekarang makan aja. Aku udah laper."
Saveri terus mengarahkan cahaya senter HPnya mengikuti langkah Rindu menuju meja makan. Rindu sering berkata bahwa ia menyukainya. Tapi jelas tidak secara blak-blakan seperti gadis itu mengungkapkannya tadi. Selama ini Rindu hanya menyampaikan lewat chat atau bahkan melalui adiknya, Anya.
Saveri ikut duduk di kursi makan dan meletakkan HPnya di sana untuk menerangi mereka berdua. Sekarang keduanya bisa melihat dengan jelas ekspresi masing-masing. Mereka makan dengan tenang. Rindu sudah tidak lagi mengoceh seperti tadi. Sejujurnya ia malu. Tentu saja. Sekuat tenaga ia menahannya.
"Lo belum mandi?" Tiba-tiba saja Saveri bertanya, menyebabkan Rindu tersedak.
"Apa?"
Kalau sampai ia tidak salah dengar dengan apa yang Saveri katakan, mati sudah dirinya kali ini. Setelah pernyataan perasaannya tadi dan sekarang ia kepergok belum mandi. Mau ditaruh di mana wajah Rindu?
"Lo belum mandi?" Sekali lagi Saveri mengulangi pertanyaannya.
"U...u...udah kok. Ih, ngejek ya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU √ [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA] [PART MASIH LENGKAP] Rindu percaya dengan pepatah yang mengatakan, "Usaha tidak pernah mengkhianati hasil." Maka dari itu dia tidak akan menyerah akan cintanya. Saveri, lelaki dingin, ketus, cuek juga kasar. Harusnya...