Langkah Saveri berhenti di depan pintu butik ketika menyadari ada sesuatu yang tertinggal. Ia berbalik dan mendapati Rindu masih duduk anteng di kursi sebelah kemudi.
Dari tempatnya duduk, Rindu cengengesan. Ia melongokkan kepalanya keluar jendela. "Aku tunggu di sini aja, ya!"
Saveri tak menyahut. Dengan wajah datar, laki-laki itu melangkah menuju pintu mobil sebelah Rindu.
"Keluar, atau lo mau gue seret?" kata Saveri dengan nada dingin.
Rindu memberengut dan akhirnya menurut keluar dari mobil. "Nggak romantis, nih. Harusnya kamu bukain pintunya, dong!" celoteh Rindu.
"Tangan lo masih utuh, masih berfungsi dengan baik. Jadi, gunain tangan lo sebagaimana mestinya."
Rindu melongo di tempat. Ia mencibir dari balik punggung Saveri yang sudah melangkah terlebih dulu ke arah butik. Lelaki itu memang nggak ada manis-manisnya.
Sekalinya di suruh romantis, malah Rindu harus menelan pil pahit akibat perkataan Saveri yang nyelekit.
Beberapa pelanggan butik dan karyawan tak sedikit yang mencuri pandang ke arah Rindu dan memandangnya dengan geli. Seolah Rindu adalah obyek yang lebih menarik daripada gaun-gaun mahal yang terpasang pada manekin.
Rindu meringis, kemudian ia mencengkram kuat tali tas punggungnya. "Kak, ini seriusan ngajak aku ke sini?"
Mata Rindu awas memperhatikan deretan gaun pengantin yang elegan. Perempuan itu menelan ludahnya susah payah ketika memperkirakan harga setiap gaun sama dengan uang saku dirinya selama satu tahun. Atau bahkan lebih?
Saveri tiba-tiba saja berhenti sehingga Rindu yang tak memerhatikan langkah, terantuk punggung tegap Saveri.
"Aw," rintih Rindu sembari menggosok hidungnya yang kemungkinan memerah.
Dengan bibir mencebik, Rindu melangkah maju dan melihat apa sebenarnya yang membuat Saveri berhenti.
Saveri melirik sekilas Rindu yang sudah berdiri di sebelahnya.
"Wah, wah, lihat siapa ini. Apa kabar Saveri?" Seorang wanita paruh baya menyambut Saveri dengan suka cita. Bahkan tak segan-segan juga, perempuan itu cipika-cipiki dengan Saveri.
Rindu menaikkan sebelah alisnya, sedikit jijik.
"Kabar baik, Tante," jawab Saveri sopan.
Kemudian mata wanita tersebut jatuh pada Rindu. Matanya sedikit meneliti penampilan Rindu dan mengernyit ketika menyadari pakaian apa yang sedang perempuan itu pakai.
Seperti melihat sesuatu yang mengganggu, wanita paruh baya itu menunjuk pakaian Rindu dengan telunjuknya. "Oh, migat! Kamu pungut dari mana ini anak, Ver?"
Wanita itu berjalan memutari Rindu, membuat Rindu merasa terganggu. Toh, yang berpakaian seperti ini dirinya, kenapa juga wanita ini repot-repot menilai. Rindu juga tidak minta buat dinilai, kan?
"Pacar kamu?" Akhirnya setelah selesai mengamati Rindu secara terperinci, wanita itu bertanya.
Tanpa basa-basi, Saveri menjawab, "Bukan, Tante. Dia anaknya Tante Sarah."
Setelah Saveri berujar demikian, wanita tersebut tampak syok. Bola matanya membulat sempurna dan kembali memandangi Rindu.
Rindu meringis. Mungkin hobi wanita itu memang suka menilai penampilan orang ya?
"Anaknya Sarah?" Tatapan wanita itu kembali pada Saveri untuk meminta penjelasan.
Saveri mengangguk. "Iya tante. Rindu, kenalin ini Tante Mona."
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU √ [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA] [PART MASIH LENGKAP] Rindu percaya dengan pepatah yang mengatakan, "Usaha tidak pernah mengkhianati hasil." Maka dari itu dia tidak akan menyerah akan cintanya. Saveri, lelaki dingin, ketus, cuek juga kasar. Harusnya...