Rindu duduk selonjoran di atas sofa sedangkan Anya duduk di bawah. Mereka sedang menonton serial drama korea kesukaan keduanya beberapa hari terakhir.
"Anjir, anjir, gue kok malu sendiri, sih?!" Rindu sudah menutupi wajah memerahnya dengan bantal ketika pemeran utama perempuan dan laki-laki itu saling berciuman.
Anya yang duduk di bawah menghela napas jengah. "Ah elah, lo mah suka kan sama yang beginian?" sindir Anya.
Rindu tak menyahut. Ia terlalu fokus dengan adegan romantis drama korea tersebut. Ah, andaikan kehidupan Rindu di dunia nyata bisa seperti drama korea yang kerap ia tonton. Tokoh wanita dengan wajah biasa saja tetapi selalu dikejar-kejar lelaki tampan. Bahkan, lelaki yang diidamkannya pun ikut mengejar dirinya.
Anya menolehkan kepalanya ke Rindu karena entah kenapa sahabatnya itu jadi lebih tenang. Biasanya kan kalau nonton beginian Rindu yang paling tidak bisa diam. Dia selalu berkomentar banyak hal mengenai sesuatu yang tidak penting sekalipun.
Dan benar saja. Rindu ternyata bengong dengan menggigiti bantal sofa.
Anya mengambil bantal yang digigiti Rindu, "Jangan ngayal yang tinggi-tinggi lo, jatuhnya sakit tahu rasa."
Rindu menendang paha Anya karena perkataannya yang menjengkelkan.
"Wah, kayaknya lagi seru, nih." Ucap suara berat dari balik punggung Rindu dan Anya. Keduanya berbalik. Dan mendapati keterkejutan dari Anya. Gadis itu langsung bangkit dan berlari memeluk lelaki paruh baya tadi.
"Aaa, Papa kapan pulang? Kok nggak ngabarin Anya kalau pulang?"
Heru - Ayah Anya, tersenyum. Lelaki paruh baya itu menoleh dan mendapati Saveri yang berjalan santai memasuki rumah.
"Abang nggak cerita?"
Anya langsung memberengut dan menatap Saveri tajam.
Rindu berjalan menghampiri Heru dan menyaliminya dengan sopan.
"Halo, Om, apa kabar?"
"Baik, Rindu. Yaudah, dilanjut mainnya. Papa mau ke atas nyamperin Mama sekalian istirahat."
Akhirnya setelah Heru menghilang dari hadapan Rindu dan Anya yang pamit katanya masih pengen temu kangen sama Papanya membuat Rindu jadi kesepian.
Rindu mematikan laptop meskipun tadi ia sangat antusias dengan dramanya. Tetapi sekarang rasanya hambar. Melihat sekeliling sepi, Rindu memutuskan untuk pulang saja tanpa pamit karena takut mengganggu Anya dan keluarga. Lagipula sepertinya Saveri juga tak ada niatan menemani Rindu, kan.
Setelah sampai rumah dan duduk di meja makan, Rindu mengirim pesan pada Anya.
Nya, gue pulang. Hehe. Maaf nggak pamit, takut ganggu soalnya. Salam buat tante Rini sama Om Heru, ya...
Rindu menghela napas dan meletakkan ponselnya di meja. Ia juga menjatuhkan kepalanya di meja makan. Sekarang ia benar-benar kesepian. Baru saja ditinggal Mamanya beberapa jam lalu sudah membuat Rindu kangen.
Tak disangka, saat Rindu hampir memejamkan matanya karena ngantuk, kantung kresek hitam mendarat beberapa senti telat di depan wajahnya. Rindu langsung duduk tegak karena terkejut.
"Oleh-oleh dari Papa."
Rindu menoleh mendapati suara berat Saveri di telinganya.
Beberapa kali Rindu mengedipkan matanya tak percaya. Apalagi sekarang jantungnya sedang marathon mengetahui Saveri berada di dekatnya.
"Yaudah, gue pulang."
Hah? Rindu baru tersadar saat Severi sudah beberapa langkah menjauhinya. Ia memandangi kantung kresek dan punggung Saveri bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU √ [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA] [PART MASIH LENGKAP] Rindu percaya dengan pepatah yang mengatakan, "Usaha tidak pernah mengkhianati hasil." Maka dari itu dia tidak akan menyerah akan cintanya. Saveri, lelaki dingin, ketus, cuek juga kasar. Harusnya...