Ada yang salah saat melihat Rindu hanya menatap kosong pintu rumah dengan plitur coklat itu. Wajahnya sendu dan muram, tapi Gavin tidak berani bertanya sebelum gadis itu mau bercerita sendiri. Gavin sangat menghargai privasi seorang wanita, asal kalian tahu.
"Nggak mau ngetuk?" Tanya Gavin ketika selang beberapa detik mereka sampai pada rumah berpelitur coklat itu, Rindu tak kunjung mengetuk pintu. "Lupa, ya, caranya ngetuk pintu?"
Rindu hanya diam, kemudian mengangkat tangannya untuk bersiap mengetuk pintu. Ia tak boleh terus-menerus menghindar. Mau bagaimanapun, Saveri belum resmi menjadi milik perempuan bernama Karin itu.
Gavin mengembuskan napas kasar dan mengambil alih untuk mengetuk pintu. Ia tak akan membiarkan Rindu yang mengetuk kalau gadis itu mengangkat tangannya saja ogah-ogahan. Sejak pulang sekolah tadi dan memutuskan untuk menjenguk Anya yang pulang duluan, Gavin sama sekali tak melihat warna di wajah Rindu.
Rindu menolah ketika tangannya beralih digenggam Gavin yang lain, ketika tangan lainnya, laki-laki itu gunakan untuk mengetuk pintu.
"Lo kelamaan," kata Gavin berlagak tak acuh.
Pintu tersebut berangsur terbuka dan memperlihatkan laki-laki dengan kaos polo putih dan celana kain warna biru selutut. Rindu terpana sejenak sebelum akhirnya ia mampu mengendalikan dirinya sendiri. Pesona Saveri selalu mampu membuat Rindu lupa diri.
"Ngejenguk Anya, ya?" Tanya Saveri dengan nada dan wajah datar.
"Iya." Gavin yang menyahut. Sedangkan Rindu masih diam dengan mata menatap wajah Saveri dalam diam.
Saveri masih tetap di tempatnya. Ia balik memandang Rindu dan membuka pintu lebih lebar, membiarkan tamunya melihat seisi rumah. "Dia di kamar. Abis minum obat," katanya sambil tetap memandangi wajah Rindu tanpa ekspresi.
Gavin melirik kesal. Kemudian segera saja ia menarik Rindu dan membawanya ke kamar Anya. Untung saja ia sudah terbilang sering main ke rumah Anya, biarpun itu sekedar numpang makan atau tidur. Jadi, setidaknya ia tidak terlalu canggung dengan seisi rumah Anya. Begitu pun Rindu.
Gavin membuka pintu dan terlihat Anya sedang berbaring tengkurap dengan majalah langganannya di tangannya.
"Lo nggak sakit?" Gavin histeris duluan. Suaranya yang khas lelaki, besar dan ngebass, berasa kamar Anya sedang ada gempa.
"Woi! Kira-kira dong kalau mau teriak. Nggak sadar kelamin apa?!" Ujar Anya jengkel. Kemudian dirinya beralih menjadi duduk di atas kasur dan menatap kedua temannya dengan mata berbinar.
Gavin memberengut. Laki-laki itu berangsur mendekati Anya dan duduk di kursi belajar yang ada di dekat kasur.
"Lo nggak sakit, Nya?" Alis Rindu mengernyit. Melihat kondisi Anya yang sekarang benar-benar berbeda dari gadis itu beberapa jam yang lalu. "Lo sehat?"
"Ya, seperti yang kalian lihat sekarang. Gue sehat. Lebih tepatnya lebih sehat daripada beberapa jam yang lalu," katanya belagak keren.
Gavin yang duduk di kursi berdecih. "Sudah gue duga..."
"Eh, tadi gue beneran sakit, ya!" Kata Anya dengan nada tak suka mendengar Gavin menanggapi perkataannya seolah Anya tadi hanya pura-pura. "Lagian, Rin, ngapain juga lo bawa penjahat kelamin ini ke rumah gue, sih? Jadi penuh kuman, kan rumah gue!"
"Yang lo katain penjahat kelamin siapa? Gue? Oh gitu sekarang? Ngajak berantem?!"
"Iya. Kenapa? Lo takut?"
"Oke. Siapa takut. Maju lo! Cewek kaya lo cuma modal bacot, doang."
"Sini lo!"
"Lo yang sini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RINDU √ [SUDAH TERBIT]
Ficção Adolescente[FOLLOW DAHULU SEBELUM MEMBACA] [PART MASIH LENGKAP] Rindu percaya dengan pepatah yang mengatakan, "Usaha tidak pernah mengkhianati hasil." Maka dari itu dia tidak akan menyerah akan cintanya. Saveri, lelaki dingin, ketus, cuek juga kasar. Harusnya...