Chapter 33

2.1K 192 96
                                    


Typo bertebaran

'Once upon a time I was falling in love, but now, I'm only falling apart.' ––Kendall

'I'm saying, baby, Please have mercy on me.' ––Harry

.

.

.

"Aku sudah merasa baikan, Lucinda, kau bisa pergi sekarang." Kataku sembari mendorongnya pelan.

"Tapi lebam anda. . ."

"Kan sudah dikompres. Palingan besok nyerinya sudah hilang, sekarang biarkan aku istirahat, oke?" Aku merengek, pura-pura lelah.

Dengan terpaksa Lucinda mengangguk. Ia membawa kantong es serta obat gel yang digunakan untukku tadi sebelum keluar kamar. Aku lalu berjalan ke meja rias dan melihat lagi luka lebam di pipi kananku.

Tadi itu begitu menyakitkan. Dan sakitnya masih terasa sampai sekarang kendati kejadiannya sudah tiga jam berlalu. Aku bingung. Harry suka sekali berkelahi, tak jarang ia mendapatkan luka lebam seperti ini atau mungkin lebih parah sampai berdarah-darah. Harry seorang petarung menurutku. Dia tahan banting sekali sampai bisa menerima pukulan yang bisa ku hitung minimal sebulan sekali yang pastinya ada.

Aku juga bersyukur karena yang mengenaiku bukan Harry melainkan Ray––teman kampusku. Aku tahu bahwa Ray anak baik-baik, ia pastinya tidak pernah berkelahi seperti Harry, dia bukan petarung. Tetapi karena dia laki-laki, maka ia pasti mempunyai tenaga untuk membuatku lebam. Tapi jika Harry yang mengenaiku maka aku sangat yakin jika kulitku akan robek dan aku akan pingsan hingga besok pagi. Tenaga Harry besar sekali, terbukti dari Ray yang pulang dari rumahku dengan keadaan babak belur. Aku menyesal atas itu. Aku harap dia tidak memiliki dendam pada Harry dikedepannya.

Berbicara soalnya. Aku memang sedih ketika dia berkata kasar kepadaku. Tetapi aku mengerti jika pastinya dia tidak bermaksud mengatakan itu. Ia pasti tidak berpikir sebelum berbicara. Orang-orang memang seperti itu jika sedang emosinal tinggi––seperti Harry yang marah entah karena cemburu. Itu sebabnya aku memberinya ruang agar dia bisa menjernihkan pikirannya.

Sekarang sudah jam tujuh malam, dan aku belum menghubunginya. Aku tidak tahu apakah ia mengharapkan panggilanku, tetapi aku sudah berkata jika aku akan menghubunginya. Maka dengan itu aku meraih ponselku, menatapnya sebentar sebelum akhirnya mendial nomer Harry.

"Ken?"

Astaga, cepat sekali angkatnya. Ini seolah dia sudah menunggu panggilanku. Tetapi tidak, itu tidak mungkin. Harry adalah orang yang sibuk walaupun dia adalah mahasiswa yang tergolong malas kuliah. Sibuknya Harry adalah bersama geng-nya.

"Ken? Kau di sana? Sayang?" Ia menyadarkan lamunanku. Aku berdehem kecil sebelum membalasnya.

"Kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu? Kumohon, katakan kepadaku. . ."

"Kau jangan khawatir. . ."

"Sialan, Ken. Aku harus menemuimu sekarang, tunggu aku."

"Harry, please," aku tidak mengharapkan kehadirannya jika ia akan kembali marah-marah dan mengataiku sialan lagi. Hari ini adalah hari berat dan aku sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menghadapi ego Harry. Ia harus menunggu besok pagi untuk melanjutkan makiannya.

"Kau berkata aku bisa kembali padamu jika pikiranku sudah jernih. Pikiranku sudah jernih, Ken." Yakinnya padaku.

Aku menutup mataku karena tiba-tiba merasakan pening. Seharusnya aku istirahat sekarang. Tetapi jika Harry seperti ini maka yang ada aku tidak bisa tidur karena memikirkannya.

Same Old Love and Mistakes (Hendall)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang