Chapter 28

1.9K 198 43
                                    

Papa Leo and Harry on Mulmed^^

Happy reading :) 

.

.

"Are you fine?" Anggie bertanya dengan wajah lucunya, aku tahu ia khawatir karena aku habis menangis di depannya––seharusnya ia tidak melihat itu, tetapi hati kecilku membuatku menangis karena beberapa menit yang lalu aku hampir melukai Anggie. Mungkin benar apa kata pepatah, jangan melakukan dengan setengah-setengah, atau aku akan dibawa gamang dengan penyesalan. Jika aku ingin melukai Anggie, seharusnya aku tidak perlu berpikir dan hanya harus melakukannya saja. Sialnya, aku masih terlalu lemah dan rapuh.

Tak apa, masih banyak lain waktu, pikirku.

"I'm fine, thanks for asking."

Ia mengangguk, lalu meminum kembali jusnya yang tinggal sedikit.

"Aku mengantuk." Ucapnya setelah aku mengambil gelasnya.

"You do?"

Dia mengangguk sebagai jawabannya. Well, ini sudah jam setengah satu siang. Mungkin memang harusnya dia tidur.

"Kau mau kugendong atau berjalan sendiri?"

Ia merentangkan tangannya, meminta untuk ku gendong. Setelah itu aku mulai mengikuti apa yang ia inginkan dan mulai keluar dari dapur besar ini.

Aku melihatnya yang kini menyenderkan kepalanya dibahuku setelah menguap besar-besar. Pikiranku mulai terbayang jika saja tadi aku benar-benar memberikannya milkshake, bisa saja ia tidak mengantuk saat ini. Mungkin tubuhnya akan merah-merah dan merasa gatal, atau ia menjadi sesak napas seperti yang ada di film-film.

Cukup.

Aku tidak mau mengingat kegagalanku. Yang harus aku lakukan adalah menjauh dari bocah ini sebelum aku mulai mendapat rencana apa yang mungkin saja bisa menyakitinya. Jelas di satu sisi aku tidak mau melukainya, tetapi jika ada kesempatan maka mengapa tidak?

Aku kembali berjalan dan terus berjalan, tidak menemukan arah tujuanku.

Astaga, aku dimana? Ini bukanlah lorong yang aku lewati tadi. Sial, aku tersesat dan itu memalukan. Baru saja aku ingin bertanya pada Anggie, ternyata bocah itu sudah terlelap. Tubuhnya yang tertidur dalam gendonganku membuat beban badannya bertambah. Aku mengeratkan peganganku lalu mencoba memperbaiki letak tubuhnya yang merosot.

Setelah dua menit tersesat dilorong ini, aku pun berbalik karena diujung tadi aku sudah melihat jalan buntu dengan pintu sebagai akhirannya. Jelas bukan arah tujuanku. Lantas aku mencoba mengingat kembali arah ke dapur, tetapi aku dipilihkan oleh dua lorong; ke kanan atau ke kiri, double sialnya, aku lupa yang mana.

"Innie, Minnie, Money, Mo––" Lontaran dan gerakan telunjukku yang terluka berhenti memilih lorong ketika mendengar seruan seseorang di ruangan dekatku. Seruan itu berteriak girang, tampak menang.

Itu Papa Leo. Ku pikir dia ada urusan sehingga aku harus menggantikannya menjaga cicitnya sendiri.

Aku menggeram kesal, lantas tanpa mengetuk pintunya, aku segera membuka pintu itu lebar-lebar. Di sana ada Papa yang menonton tayangan pertandingan sepak bola pada layar besar yang menutupi hampir seluruh dinding. Ia segera menoleh ke arahku dengan kedua tangan yang masih terangkat di udara, salah satu genggaman tangannya memegang paha ayam yang telah digigit setengah, satunya lagi memegang kaleng bir.

Matanya lebar penuh ketika mendapatiku yang memergokinya basah-basah. Ia sedang bersantai di ruangan yang aku asumsikan adalah teater keluarga, sendirian.

"Ken–dall!!" Ia tertawa canggung, segera meletakkan bir kaleng dan paha ayamnya ke bucket ayam yang menggunung, lalu kembali menoleh padaku dengan cengiran tanpa dosanya.

Same Old Love and Mistakes (Hendall)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang