Chapter 64

1.7K 165 204
                                    

Hari-hari berlalu dengan berat. Ini jelas menyesakkan ketika kami saling berdiam diri. Walaupun aku telah mencoba membuka percakapan, Ken tetap memilih bungkam.

Puncaknya hari ini, setelah tiga hari kami tidak saling berbicara. Dan selama itu pula aku belum membiarkan mataku tertutup. Aku tidak mengijinkan diriku tertidur. Aku tidak akan pernah bisa tidur jika bayang-bayangnya pergi dariku selalu menghantui.

Ken membiarkan dirinya tertidur dan tidak kunjung membuka matanya. Aku tahu dia menghindariku dengan membuat dirinya berpura-pura. Mungkin dia pikir aku akan pergi ke kantor dan setelahnya baru dia bisa pergi.

Tidak akan.

Tidak akan kubiarkan dia lakukan itu padaku. Dia harus mengerti jika ialah hidupku dan aku tidak mau dia pergi. Aku juga sudah menjelaskan semuanya. Semua yang ingin dia ketahui. Tentu saja ia tidak menerimanya namun dia tidak mengatakannya. Dia hanya mendengarku tanpa komentar apapun.

Tepat pada jam sepuluh, ia menyerah dan membuka matanya. Aku terlalu mengenalnya, dia akan bangun paling telat jam delapan. Dan jika seperti ini ia sama saja menyiksa kami.

Ken pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya. Ketika ia selesai, aku mendapati dirinya sudah siap. Dia rapih untuk hari ini. Selanjutnya yang aku duga-duga, dia benar-benar pergi. Membuatku cepat-cepat berdiri di depan pintu, menghalangi jalannya.

"Kau tidak boleh pergi." Dia tidak menjawab, maupun menatapku. Ya ia lakukan berusaha menggeser tubuhku dan memberinya jalan. "Jangan pergi," pintaku sekali lagi.

Ken menarik napasnya dalam-dalam, mungkin lelah dengan tingkahku sepeti anak kecil.

"Bukankah seharusnya kau ke kantor?"

"Tidak tanpa dirimu."

"Yang benar saja." Dia memutar bola matanya, "minggir, aku mau lewat."

"Tidak boleh pergi."

"Awas." Ia menarikku, tetapi dengan cepat aku memeluknya. Memeluknya erat tanpa menyakitinya.

"Katakan padaku, Sayang. . . apalagi yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan untuk mendapat maafmu?"

Dia berdecak kesal. Tetapi aku merasakan tubuhnya bergetar. Aku merasakan ia kembali sedih.

"Akan aku lakukan apapun itu. Apapun. Agar semuanya kembali normal."

"Normal?" Dia berbisik, "kata normal dari mana menurutmu setelah semua yang kau sembunyikan."

"Aku hanya tidak ingin hal seperti ini terjadi. Kau marah, berniat meninggalkanku. Lalu aku hancur. Itulah yang aku hindari."

"Kau egois."

"Hanya untuk bersamamu. Ya, kau benar."

"Kau sialan." Suaranya bergetar.

"Si Sialan yang benar-benar mengharapkan maafmu."

"Aku. . . aku membencimu."

Aku menggeleng. Menenggelamkan wajahku pada lehernya, bernapas dengan sesak di sana. "Then love again, like you did before."

Pertahanan Ken roboh. Ia terisak dengan kencang, mengeluarkan seluruh kesedihannya. Tubuhnya lulai dan kami berdua terduduk di atas karpet. Ia menangis dan mencengkram bahuku, sedangkan aku terus bergumam maaf. Menciumnya dari kening hingga keseluruh wajahnya.

"Bagaimana bisa. . . bagaimana bisa kau lakukan itu padaku?"

"I told you, I am a fool."

Dia memukul dadaku. Memukulnya berkali-kali disertai tangisan kepedihannya. "Aku membencimu! Aku membencimu! Teganya kau mempermainkan aku! Teganya kau!!"

Same Old Love and Mistakes (Hendall)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang