12. Social Distancing

18.8K 927 10
                                    

"Anjuran Pemerintah Kota untuk tidak melakukan physical distancing atau social distancing masih saja dibaikan anak muda Surakarta, Pa." Nilam menggelengkan kepalanya ketika mendengar berita di tv seputar daerah Surakarta. 

Hasyim hanya mengangguk sekilas. 

"Anak muda ini, sudah diperingatkan jangan nongkrong-nongkrong, tapi masih tetap saja nongkrong, ngabuburit udah dilarang, eh, malah abis tarawih pergi berkumpul, polisi datang bubar, pas polisi pergi, mereka ngumpul lagi. Bandel banget sih, ya ampun, ada Corona begini." Nilam mengomel atas apa yang dia lihat dan dengar dari berita.

"Lihat itu, Pa! Pas polisi datang mereka buru-buru bubar, hum!" Nilam mendengkus.

"Nah, lari kan!"

"Ma, diamlah, kalau Mama ribut terus, mana bisa Papa dengar suara tv? Yang Papa dengar cuma suara Mama saja." Hasyim sudah tak tahan dengan suara omelan sang istri yang memenuhi ruang keluarga rangkap ruang nonton.

Nilam menutup mulut, dia berusaha untuk tidak terpancing emosi kesal atas apa yang dilakukan oleh anak muda Surakarta di tv.

"Banyak yang nongkrong di sekitaran ruas jalan Protokol kota Solo. Jalan Slamet Riyadi, Adi Sucipto, dan Jendral Sudirman. Ini anak-anak memang kepala batu." Hasyim menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kelakuan anak muda Surakarta.

"Alasan apa itu? Halah, sepeda malam-malam, padahal nongkrong, giliran polisi datang baru alasannya olahraga, ck! Ck! Ck!" Hasyim berdecak.

"Nah itu Pa, banyak anak muda, eh mereka langsung berdiri, hahahah!" Nilam tertawa melihat tv.

°°°

Lili cepat-cepat berdiri ketika Imam selesai membaca doa. Sholat tarawih baru saja mereka selesaikan dengan total 11 rakaat dengan witir. 

Lili mengambil sendalnya lalu cepat-cepat berjalan ke arah pintu laki-laki. Matanya mencari sesuatu. 

"Ah, dapat!" Lili meraih sepasang sandal sw*llow hitam bernomor kaki sebelas yang sudah sangat dia kenali.

Ketika para makmum keluar pintu, mereka mencari sandal mereka.

Seorang bapak melihat ke arah tangan Lili. "Nduk, itu sendal punya Pakde," ujar bapak itu.

Lili melihat ke arah Pakde. "Pakde, ini sendal bukan milik pakde, ini milik Mas Dika."

"Woh, itu warna hitam, jangan diambil, Nduk. Pakde pakai apa?" Pakde merasa bahwa sendal yang berada di tangan Lili itu adalah benar miliknya, bukan milik orang lain. Namun, Lili membantah.

Dika muncul dari belakang Pakde.

"Pakde, ini benar sendal milik Mas Dika. Lili sendiri yang nulis nama Mas Dika di pinggir sendalnya. Ini, mari Pakde lihat." Liana menunjukan nama yang dia ukir di pinggir sandal. 

Pakde melihat nama itu, "Nduk, ini bukan nama Dika," ujar Pakde setelah melihat nama yang terukir.

"Memang ini bukan nama Mas Dika, karena Lili ukirnya nama Fernando," sahut Lili, dengan semangat dia melepaskan sandal kiri miliknya lalu dia tujukan pada Pakde. "Ini nama Rosalinda, lalu yang sebelah kanan nama Fernando. Tanda milik Mas Dika juga sama, yang kiri nama Fernando yang kanan nama Rosalinda. Ini sandal pasangan, hanya Lili dan Mas Dika saja yang ada, soalnya nama kita terukir di masing-masing sandal satu sama lain."

"...." Pakde tak dapat berkata-kata lagi. Dengan berat hati Pakde berjalan tertelanjang kaki pulang ke rumah.

"Apes hari ini."

Dika yang berdiri tak jauh dari Lili menjadi diam. Dia memandangi Lili lama. Lili berdiri menunggunya, bahkan mengamankan sandal sw*llow hitam yang dia beli di pasar seharga lima belas ribu.

Lili's Love Story [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang