20. Pinjaman Bersyarat

18.7K 882 3
                                    

...

Jefri memperhatikan putrinya. Mereka sedang makan pagi.

"Putri." Panggil Jefri pelan.

Putri menatap sang ayah, "Ya?"

"Selama beberapa bulan kerja dari rumah, apa yang kamu rasakan?"

Tanpa pikir panjang wajah Putri cemberut, dia menjawab, "Bosan Pa. Ini berbulan-bulan, Putri nggak leluasa bertemu dengan teman-teman Putri di kantor, tidak saling tatap muka, hal ini benar-benar membosankan."

Jefri mengangguk mengerti, tentu saja dia sudah tahu tentang keluhan sang anak, sebab sudah dari awal-awal pemerintah memberlakukan work from home, sang putri sudah mengomel menentang. Dia hanya perlu memastikan sesuatu lagi.

"Oh, yah. Apa Dika ada kabar akhir-akhir ini?" Jefri berusaha agar tak memperlihatkan ekspresinya.

"Huh!" Putri membuang napas kasar, "mau ada kabar bagaimana, Pa? Palingan dari telepon saja, nggak pernah tatap muka lagi."

"Oh yah? Apa setiap hari kalian saling memberi kabar lewat hp?" 

Putri terlihat berpikir, setiap hari dia menunggu pesan dari Dika.  Seperti pesan menanyakan kabarnya, menanyakan apakah dia sudah makan atau belum, bagaimana kesehariannya, apa saja yang terjadi di rumahnya. Namun, tunggu hanya tunggu, pesan tak kunjung masuk. Hal ini benar-benar membuat Putri kesal. Kalau tidak dia yang menghubungi Dika duluan, mana mau Dika menanyakan kabarnya. Itupun hanya sepatah dua kata kata, apa kabar? Apakah sibuk? Dan tak ada kata lain, lalu setelah itu Dika mengundurkan diri dan mengatakan bahwa dia sedang bekerja. 

Putri semakin kesal apalagi Lili itu tetangga dengan Dika. Hal ini tentu merugikan dia yang tinggal jauh dari rumah Dika. Dia ingin pergi setiap hari ke rumah Dika, namun kadangkala dia merasa agak malu. Semua alasan telah dia utarakan ketika sampai di rumah Dika. Menjenguk Mama dan Papa Dika, itu saja.

Putri melihat ke arah ayahnya, dia mengangguk pelan, "Ya, kita saling chat," jawa Putri ada akhirnya. Katakan saja sedikit kebohongan, sedikit saja. Memang mereka kan saling berkabar lewat ponsel, namun tak setiap hari.

Jefri mengangguk mengerti. "Oh."

Beberapa detik kemudian Jefri membuka suara lagi di meja makan, "Sudah berapa tahun Dika kerja di perusahaan kita?"

"Sudah tiga tahun lima bulan, Pa," jawab Putri lancar.

Jefri tersenyum tipis, sang putri bahkan tahu berapa tahun, berapa bulan Dika – anak teman waktu kuliah itu mulai bekerja di perusahaan kurir miliknya.

"Menurut kamu, bagaimana kinerja Dika selama tiga tahun ini?"

"Baik, Pa. Dia rajin kerja, nggak pernah bolos, nggak pernah ijin, dia datang kerja juga tepat waktu, kalau jam istirahat, dia juga masuk setelah jam istirahat tepat waktu, nggak kayak yang lain yang telat-telat mulu," jawab Putri.

"Kamu tahu banyak tentang Dika," ujar Jefri.

"Jelas Putri tahu banyak, Putri dan Dika kan udah saling kenal lebih dari tiga tahun, kita sering makan siang bareng kalau istirahat," balas Putri antusias.

Jefri manggut-manggut, sang putri ternyata sudah lama menaruh hati pada Dika itu. Jefri ingat lagi ingatan beberapa bulan lalu ketika sang putri masuk rumah sakit. Putrinya sangat senang sekali ditemani oleh Dika. Sudah Jefri tahu hari itu bahwa putrinya menyukai Dika.

"Ah, sekarang Papa baru ingat sesuatu," ujar Jefri.

"Ingat apa, Pa?"

"Kamu sudah cukup umur untuk menikah."

Lili's Love Story [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang