32. Sadar

17.4K 824 17
                                    

...

Nilambari tak berhenti terisak hingga sore menjelang. Dia masuk ke kamar sambil tengkurap lalu terisak.

Hasyim duduk mematung di kursi sofa ruang tamu. Hal ini diluar dugaannya. Ibu dan anak itu telah pergi, mungkin sekarang mereka telah sampai di Surabaya dan akan segera naik kapal ke Ketapang.

Wajah Hasyim terlihat susah.

Dua puluh lima tahun yang lalu.

"Kamu mau merantau ke mana lagi, Wil?" Hasyim bertanya ke arah Wildan.

Mereka sedang duduk di teras rumah yang baru saja dibangun oleh Hasyim ketika pindah di Surakarta sudah lebih dari satu tahun.

"Rumahmu sudah jadi, bagus." Wildan menyeruput kopi. "Aku kali ini mau pergi ke Kalimantan," jawab Wildan atas pertanyaan Hasyim.

"Bapak dan ibu sudah lama tidak ada lagi, aku sebatas kara, sekarang aku tidak perlu mengkhawatirkan siapapun, aku bebas," ujar Wildan.

Nilam datang dari dalam rumah, "Ika, jangan buang-buang pisang goreng. Ini Pa, Wild, pisang goreng panas." Nilam meletakan sepiring yang berisi enam buah pisang goreng."

"Pisang goreng, asik." Wildan mencomot pisang goreng, "Uh, panas eeuuy!"

"Hahahaha! Ini baru diangkat dari wajan." Nilam tertawa.

"Ke Kalimantan bagian mana?" tanya Hasyim melanjutkan percakapan.

"Kalimantan Barat. Di Ketapang, ada penerimaan kuli bangunan di sana, pembuatan kantor Desa, bukan cuma kantor Desa, ada juga pembuatan jalan dan sebagainya, lumayan, pembayarannya agak gede,  sekalian cari pengalaman di Kalimantan, jangan di Sulawesi, Flores dan di sini saja," jawab Wildan.

"Loh,  kamu mau kerja di kalimantan, Wil?" Nilam bertanya, "Ika, jangan dibuang pisang gorengnya-lah! Masuk ke kolong kursi!" Nilam menggendong Dika yang saat itu berumur sekitar dua tahun. Lalu membawanya ke luar, ke gendongan Hasyim.

"Dika, mari Om Idan gendong." Wildan menggendong Dika dari Hasyim.

"Sekalian mau cari pengalaman, Nil," ujar Wildan.

"Umur kamu udah mau dua puluh delapan. Cari istri gih. Jangan sendiri terus, nggak ada yang ngurusin kamu," ujar Nilam, dia mengambil tempat duduk di samping sang suami.

"Hahahah!" Wildan terbahak.

"Masih betah sendiri saja. Lagian orang tua mana yang mau anak perempuan mereka dinikahkan dengan anak miskin dan pernah bunuh orang seperti aku?"

"Heh! Bicara apa kamu!" Nilam melotot.

"Salah dia karena main tusuk kamu,  kamu kan cuman membela diri saja. Soal kaya atau miskin, kalau jodoh, sudah ditentukan oleh Allah. Siapa tahu saja kamu dapat istri yang cantiknya luar biasa, terus dia baik, ya kan Pa?" Nilam menyenggol lengan sang suami.

"Benar. Siapa tahu saja. Rejeki, mati dan jodoh itu di tangan Allah, yang penting kita berdoa dan berusaha saja," Hasyim mengangguk.

Wildan tersenyum, dia tidak berani menghalu lebih. Dia juga sadar diri atas kekurangan yang dia miliki. Dika kecil melompat-lompat aktif di atas pangkuannya, lalu tak sengaja menginjak burung perkututnya.

"Aduh!"

"Jangan injak-injak burung punya Om Idan, nanti burung punya Om Idan peot!"

"Hahahahahaha!"

Hasyim dan Nilm terbahak.

"Nah kan, jadi gepeng!"

"Hahahaha!"

Lili's Love Story [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang