⚫⚫⚫AKU menatap mata abu-abu miliknya. Warna iris matanya adalah hal yang paling kusukai darinya. Seolah aku tengah menyelami banyak rahasia di sana. Dalam dunia Rei.
“Aku mau ngomong sama kamu,” kata Rei, menyadarkanku dari lamunan dan segera memusatkan perhatianku padanya.
“Ngomong apa?” Dahiku berkerut. Rei jarang memasang wajah serius seperti itu. Suaranya pun tak sesantai biasanya—lebih terkesan tergesa-gesa. Apa pun itu, kurasa ini bukan suatu hal yang baik.
“Gimana perasaan kamu?” tukasnya langsung, menyinggung topik sensitif yang sering kuhindari.
Aku mengigit bibir. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Mendadak lidahku terlalu kelu untuk bersuara.
Kulihat Rei menghela napas. Dia menangkup wajahku, kemudian menundukkan sedikit wajahnya agar lebih dekat denganku. Jantungku mulai berdetak dua kali lebih cepat.
“Aku mau pindah ke Singapur besok.”
Seketika kerja jantungku berhenti berdetak. Wajahku pias sekarang.
“A-apa?” Aku tergagap. Bola mataku membesar.
“Orangtuaku mutusin untuk pindahin aku ke sana buat nemenin Nenek. Kasian, beliau sendirian. Kamu tahu kan, Kakek baru aja meninggal. Sekalian, kata Papa, pendidikan di sana bagus.”
“Dengar, aku sayang sama kamu. Hanya aja, kamu gimana? Seenggaknya, aku pengen dengar kalau kamu juga sayang sama aku. Jadi, aku nggak khawatir lagi pas di sana.”
Ya, aku cinta kamu. Sangat.
Ingin aku mengucapkan itu keras-keras. Namun terasa sulit. Yang kulakukan adalah meneteskan bulir-bulir bening dari mataku. Kalau aku mengatakannya, memangnya apa yang dia lakukan? Dia tetap saja akan meninggalkanku. Aku benci dirinya yang tiba-tiba mengubah keputusannya untuk menetap dan melanjutkan sekolah bersamaku. Aku pun membenci dirinya karena tak memberitahukanku soal ini jauh-jauh hari.
Serta yang paling tak kusangka, aku menggeleng padanya.
Cahaya penuh harap Rei pudar. Rautnya berganti dengan ekspresi kekecewaan. Aku telah menghancurkan harapannya dengan kebohonganku.
“Enggak, ya? Berarti usahaku selama ini sia-sia dong,” tukas Rei. Aku semakin sakit mendengarnya. Tapi Rei tiba-tiba nyengir. Dia mengusap air mataku seperti biasanya saat melihatku menangis. Meskipun air mataku malah makin menderas. “Nggak pa-pa. Perasaan orang nggak bisa dipaksain. It's okay.”
Rei bergerak memelukku. “Baik-baik di sini. Sekali-kali main—jangan belajar mulu, haha.” Dia mengurai pelukannya. “Goodbye, Lucie!”
🚀🚀🚀
“Heh, jangan ngelamun mulu!” tegur Kak Andita. Dia duduk di sebelahku dengan satu lompatan, hingga kasur yang kududuki memantul karenanya. Tanpa bisa kucegah, Kak Dita merebut fotoku bersama Rei saat menaiki bianglala—dan yang sedari tadi kuperhatikan.
“Balikin!” Aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Tapi nihil, Kak Dita lebih cepat dariku. Kulihat dia melayangkan tatapan mengejek khasnya.
“Masih belum move on juga? Setelah dua tahun pun?” tanyanya.
“Kenapa?” Suaraku menantang. Tapi rautku sebaliknya.
Kak Dita mengembalikan fotonya. Dia duduk di sebelahku. “Sini, gue bilangin. Lo tahu kenapa lo nggak bisa move on?”
“Kenapa?”
“Karena lo nggak tenang. Lo belum ngomong perasaan lo sama dia—kalau lo juga suka sama dia,” tembaknya langsung. Membuatku tercenung. “Jadi, lo akan terus terbayang-bayang sama dia. Dan setiap lo ngelihat cowok yang suka sama lo, yang lo lakukan cuma ngebandingin Renaldi sama cowok itu.”
Aku bungkam. Perkataan Kak Dita benar. Rei segalanya bagiku. Tak ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku.
“Saran gue sih satu. Cepat kasih tahu Renaldi. Meskipun udah dua tahun. Tapi, apa pun keputusan dia, gue yakin setelahnya lo lega. Pandangan lo udah nggak nyangkut ke dia lagi.”
“Kenapa harus ngomong sama dia? Kenapa juga gue lega?”
Kak Dita menguap. “Lemot amat, deh, lo. Gue yakin nilai rapot lo hasil nyogok nih,” cibirnya. “Gini, ibarat setan kalau urusan dunianya belum selesai, dia nggak akan tenang. Yang ada, dia malah sibuk sana-sini buat nyelesain masalahnya. Baru dia balik ke alamnya.”
Aku bergidik. Itu mengerikan. Ini kisahku, bukan kisah setan dalam film horor kesukaaannya. Kak Dita nggak bisa seenaknya sama-samain kisah orang begitu. Lagipula—tunggu, aku berpikir. Jika dicerna lamat-lamat, Kak Dita benar juga.
Tanpa sadar bibirku tertarik ke atas. Melihatnya, Kak Dita melakukan hal serupa padaku.
Aku mengangguk. Kali ini, Lucia Sandrea tak boleh menyerah. Dia harus berani mengatakan cintanya kepada Renaldi Wiryatama.
Apa pun keputusan Rei nantinya.
***
Haii!!
Gue bikin cerita baru lagi. Mohon kritik sarannya ya. Makasi udah mau baca!

KAMU SEDANG MEMBACA
You Get Message From Me
Teen Fiction"Jangan lupa nanti passwordnya kalau Kaela bilang 'Biskuit Gula-gula', jawabnya 'Enak dan menyehatkan!'. Kita tunggu penelepon pertama nih!" Tuut .... Tuuut .... Tuuuut .... "Halo?" Lucie terlonjak senang. "ENAK DAN MENYEHATKAN!!" teriaknya duluan t...