d u a p u l u h d u a

108 15 4
                                        


🍃🍃🍃

LO kalau masih males-malesan mending lanjut tidur aja sana,” tegur Lucie seraya menutup pintu di belakangnya. Di depannya, Sargas menegakkan badannya. Dia berdiri dari undakan tangga yang tadi disandarinya.

“Eh, si princess udah cantik aja.” Walaupun nada bicaranya berniat menggoda, tapi rautnya mengatakan sebaliknya. Dia menguap, lalu satu tangannya mengucek mata.

Lucie memutar bola matanya, lalu melempar seplastik tisu basah ke arah Sargas. Cowok itu mengaduh kaget, kemudian membungkuk untuk mengambil benda yang jatuh tersebut.

Sargas menyeringai. “Perhatian banget.”

“Sama-sama.”

“Jangan jutek gitu dong. Ntar gue sakit hati.” Sargas membuang tisu basah tersebut ke tong sampah usai mengusap wajahnya. Dia meraih sepeda yang ia sandarkan di pohon. “Berangkat yuk!”

“Tunggu!” Tangan Lucie menyambar setang sepeda yang dinaiki Sargas. “Cuma satu?”

Sargas mengangguk. “Adanya cuma ini yang nggak dipake. Kalo yang lain, lo tahu lah, tiap pagi juga si kembar biasa make buat olahraga.”

Ucapan itu seakan menegaskan kalau tak ada bantahan lagi untuk Lucie, sehingga ia menelan ludahnya. Tatapannya yang ragu mengarah ke mata Sargas, lalu ke arah sepedanya yang kurang meyakinkan—ukurannya sedang, dan tak memiliki jok belakang.

Seolah mengerti kegelisahan Lucie, Sargas tersenyum simpul sembari menarik pergelangan tangan cewek itu. “Udah, duduk depan aja. Kayak biasa, posisi miring gitu.”

“Kalau gue jatuh gimana?”

“Ya tinggal nyungsep aja.”

“Kurang ajar ya!”

“Kamu nggak percaya sama Abang?”

“Najis!”

“Yaudah buruan naik! Lo mau nungguin apa? Keburu siang ntar!” kata Sargas.

🍃🍃🍃


Udara segar selepas hujan tercium di hidung Lucie, hingga ia memejamkan matanya saat menghirup oksigen banyak-banyak. Melaju di tengah jalanan yang sepi, dan dinginnya udara pagi yang menusuk kulit membuat Lucie setidaknya tak menyesali keputusannya untuk ikut bersama Sargas.

Matahari perlahan terbit dari arah timur. Sinarnya mencoba menembus dedaunan. Tangan Lucie memegang tengah-tengah stang sambil tersenyum. Dia suka suasana ini. Sering dia membayangkan dirinya berada di tengah suasana sesejuk dan setenang ini—suasana yang tentu sulit dia dapatkan di Jakarta.

“Lo mau bawa gue kemana?” tanya Lucie sambil mendongakkan kepalanya.

“Bedok Reservoir Park. Tahu?”

Lucie mengangguk—tanpa dia sadari kalau anggukan terlihat terlalu bersemangat hingga membuat Sargas ikut tersenyum lebar. Lucie pernah iseng melihat tempat itu di internet, tapi dia tidak pernah membayangkan ada di sana.

Di sisi lain, Sargas menyetir dengan was-was. Jujur saja dia tak berlagak sok tahu dengan membawa Lucie jalan-jalan. Sebelumnya, dia sudah merencanakannya. Dia bertanya kepada Zoya dulu tentang tempat yang kiranya Lucie suka. Lalu menyuruh Dimas mengantarkannya agar Sargas dapat menghapalkan jalannya.

“Kan ada GPS,” sahut Dimas kala itu.

Enak saja! Demi kerang ajaib pun Sargas ogah melakukannya. Tahukan, bersikap cowok-tahu-segalanya itu wajib.

Tetep lurus. Ntar ada rumah cat biru baru belok kanan. Pas pertigaan belok kiri—

Gue rasa, sikap gue keterlaluan banget sama lo.”

Eh?

Sargas menunduk. Dia bertanya, memastikan alat pendengarannya tak salah. “Ngomong apa?”

Lucie mendongak. “Gue kasar banget sama lo. Belagu banget lagi. So sorry.”

Abang nggak kuat. Boleh pingsan nggak? Tolong pegangin dong!, seru Sargas penuh syukur dalam hati. Benaknya terus-menerus mengulang perkataan Lucie bak kaset kadaluarsa. Dia habis kesambet apa tiba-tiba ngomong begitu? Tapi bodo. Yang jelas,  hasil nggak akan menghianati usaha.

Dengan begitu kan PDKT Sargas akan semulus paha Selena Gomez.

“Gas! Kok bengong!”

“Eh, iya, sori,” kata Sargas sambil nyengir. “Udah sih, gapapa. Nggak usah minta maaf juga.”

“Lo pernah sakit hati nggak sama omongan gue?” tanya Lucie yang tak dapat menyembunyikan rasa bersalahnya. Dia terus mendongak, hingga membuat Sargas heran. Apa lehernya nggak pegel nengok atas mulu?

Sedikit, sih. Tapi Sargas menggeleng. “Biasa aja.”

🍃🍃🍃

“Kejar gue Gas!”

Lucie berteriak sembari mempercepat kayuhannya. Di belakangnya, Sargas berlari dengan terengah-engah, keringat mengucur di pelipisnya. Tapi tetap, ia berusaha mempercepat larinya juga untuk menyusul Lucie.

Di jalan tadi, Sargas tiba-tiba mengatakan ide konyol. Dia mengajak Lucie untuk suit dengan tujuan bagi yang kalah nanti, dia akan mengejar orang yang menang sambil bersepeda. Dan, Sargas mendapatkan getahnya begitu dia kalah telak dengan batu milik Lucie.

“Ayo lebih cepet lagi! Hahaha!” seru Lucie.

“Ya lo jangan cepet-cepet dong!!” balas Sargas.

Seterusnya begitu sampai mengelilingi taman. Hingga putaran ke dua Sargas melambaikan tangannya, dia menyerah. Jangan salah sangka dulu, seputaran aja sudah membuat Sargas kewalahan karena saking panjangnya. Ya kali dia terus lari sampai lima kali putaran!

Lucie menghampirinya dengan bibir mengerucut. “Yaah, kok cepet banget sih udahannya? Seru banget padahal. Lo aja hampir ngenain ban sepedanya.”

“Menurut lo aja sono!”

Lucie tertawa keras sampai matanya menyipit. Cahaya matahari menembus rambut Lucie yang diurai hingga berterbangan karena semilir angin, menerangi wajah cantik cewek itu. Diam-diam Sargas mengagumi keindahan itu.

Jarang dia bisa melihat Lucie tertawa lepas seperti itu. Namun hari ini, dia banyak melakukannya.

Merasa Sargas tengah memerhatikannya, Lucie berhenti tertawa dan mengajak cowok di depannya untuk turun ke arah jembatan yang terbuat dari kayu. Ia menyelipkan anak rambutnya, namun gagal karena angin terus menerbangkan rambutnya. Lucie lalu mengambil tali rambutnya dan botol minumnya.

“Eh, diminum dulu tuh,” kata Lucie sambil menyerahkan botolnya yang langsung diterima oleh Sargas. Kemudian tangan Lucie terangkat—

“Sini biar gue aja,” sela Sargas cepat seraya menyambar tali rambut Lucie.

Selama Sargas meraih rambutnya dari belakang, dan kemudian merapikannya, hati Lucie menghangat. Sentuhan tangan itu menenangkan dirinya.

Selesai menguncir rambutnya, Sargas melepaskan tangannya. Gantinya, dia meraih tangan Lucie untuk digenggamnya—yang ia pikir Lucie akan menepisnya, tapi tidak. Sargas tersenyum lebar. Sesaat, dia memerhatikan tautan tangan mereka yang begitu pas. Sementara tangan kirinya menuntun stang sepeda.

“Ayo!”

***

Udah part 22 aja nih

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang