d u a b e l a s

116 25 0
                                    


⚫⚫⚫

GUE bakal ngembaliin ini buku kalau lo mau jadi teman gue. Gimana?”

Teman. Sargas.

Setelah menimbang-nimbang, Lucie tak yakin dia bisa berteman dengan cowok itu. Selain karena dia tidak suka pada tipe cowok yang aneh-aneh, Sargas kan terlihat jelas menyukai dirinya. Nanti kalau malah dimodusi melulu bagaimana?

“Lu? Lo serius nggak mau buku lo balik?”

Menurut informasi yang diperolehnya, pesawat sampai ke Bandara Changi masih sekitar tiga puluh menit lagi. Yang artinya, dia harus rela kena sial karena ocehan Sargas di sebelahnya. Lucie memasukkan tangannya ke dalam saku jaket, dengan pandangan yang tak lepas dari gumpalan awan-awan hitam di luar.

Omong-omong, apa saja rencana mereka setelah sampai Bandara?

“Jangan kacang, please. Gini deh, gue nggak maksa lo mau atau enggak jadi teman gue. Sekarang gue ganti. Mau nggak lo jadi pendamping hidup gue?”

Atau, mereka juga sudah mem-booking hotel? Ya, menurutnya, itu bukan hal buruk. Selain berjaga-jaga karena menurut perkiraan cuaca, Singapura lagi musim penghujan, Lucie perlu istirahat sejenak sembari menunggu Rei kuliah. Perjalanannya juga nggak jauh-jauh banget. Ibarat, Bandara Changi ke National University of Singapore hanya memakan waktu sekitar 23 menit.

Tapi, nanti kalau Lucie malah mengganggu kuliah Rei bagaimana? Tunggu, Risa kan sudah memberikan alamat apartemen Rei. Kenapa Lucie nggak langsung ke sana saja?

“Oke lo nggak mau. Gue ganti pertanyaannya. Seberapa penting sih, Rei buat lo, sampai-sampai lo mau nyusul jauh-jauh gini?”

Satu.

Dua.

Tiga.

“Apa?” Mendengar nama ‘Rei’, membuat perhatian Lucie kini sepenuhnya ke arah Sargas yang sudah nyengir kegirangan karena pancingannya berhasil.

Akhirnya, ya Allah!

“Seberapa penting Rei buat lo?” ulang Sargas. Meskipun berhasil membuat Lucie membuka suara, tapi tetap saja kan, yang dibahas tentang cowok lain—yang notabenenya gebetan Lucie.

“Lo kan udah tahu dari Zoya,” balas Lucie.

“Gue pengen denger dari lo.”

“Nggak ada bedanya cerita gue sama cerita Zoya. Lo nggak perlu nanya-nanya lagi kerena lo pun tahu jawabannya,” jawab Lucie cuek.

“Okay, intinya Rei penting banget buat lo. Dia punya sesuatu tersendiri yang ngebuat lo susah move on,” seloroh Sargas.

“Kenapa harus move on?” tanya Lucie skeptis sambil menoleh.

“Emang lo mau ngarepin dia terus? Bukannya lo bilang setelah urusan lo selesai lo bakalan pulang?”

Lucie tidak langsung menjawab. Dia tertegun. Sargas memang benar, namun, mengapa hatinya mengatakan sebaliknya?

☄☄☄

“Suara lo bagus.”

Pandangan Zoya yang tengah menelisik ke arah Lucie dan Sargas yang duduk di sebelah samping kanan dengan satu deret bangku pemisah di depan mereka teralihkan karena suara Dimas.

Zoya melempar tatapan bertanya padanya. Dimas melanjutkan, “Gue salah satu follower Instagram lo loh. Belum pernah melewatkan satu pun video cover lo. Suara lo selalu keren. Gue suka!” ujarnya. Dia tersenyum lebar, nadanya begitu riang.

Zoya tak menanggapi. Sejenak, ia bertanya-tanya bila nadanya mengatakan demikian, mengapa ekspresinya malah berkata sebaliknya?

Mengerti arah pikiran Zoya, Dimas berhenti tersenyum. Dia mengangkat bahu, gerakannya ringan tanpa beban. Seolah hal itu sudah sangat biasa. “Banyak orang yang nggak percaya sama ekspresi gue. Jujur, hal yang bikin gue susah adaptasi adalah cara penyampaian muka gue nggak sesuai sama apa yang mereka pengenin. Lo pasti paham.”

Zoya mengangguk mengiyakan. Cowok gemuk itu memiliki mata bulat sayu, rambut agak ikal, pipi tak begitu tembam, hidung standar, serta wajah cokelat kemerahan. Sayangnya, benar, Zoya memang salah satu dari sekian yang orang yang Dimas maksud.

Tapi, bagi Zoya itu bukanlah masalah. Dia tersenyum dan menyikut Dimas. “Tapi aslinya lo orang yang bahagia kan?”

“Jelas!” sahut Dimas sambil mengangguk mantap. Dia bahkan mengacungkan jempolnya. Membuat Zoya terkekeh melihat betapa ekspresif cowok di sebelahnya.

“Omong-omong, makasih. Lo tahu, meskipun banyak orang bilang suara gue bagus, Nyokap gue nggak termasuk. Dia bilang suara gue fals mulu,” tutur Zoya dengan muka cemberut.

“Nyokap lo penyanyi?”

“Pencipta lagu, serta pianis hebat di jamannya dulu, tepatnya. Meskipun nggak bisa nyanyi, dia selalu kritis soal musik atau seni tarik suara. Jelas gue selalu down tiap kali Nyokap komentar.”

Dimas meringis, seraya bergidik pelan. “Pasti perjuangan banget saingan sama pakar musik kayak gitu. Untung Nyokap gue nggak begitu tahu soal musik, jadi nggak pernah komen. Paling juga banting gelas kaca kalau suara gue udah kelewatan merusak gendang telinga.”

Tawa Zoya pecah. “Itu nyeremin, kali!” katanya setelah tawanya usai. Dia menarik napas. “Ya gitu, tapi, gue masa bodoh lah. Gue blokir akun Nyokap biar gak bisa liat video gue. Bakalan aneh kalau tiba-tiba di kolom komentar nyempil komenan Nyokap. Lagian gue kan nyanyi buat gue sendiri.”

“Ya, ya, lo bener.”

Zoya memasukkan tangannya di saku jaket yang dikenakannya. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya. “Makasih ya, lo udah bantu kami. Lo mau repot-repot ikut, ngurusin penginapan di tante lo. Padahal, gue dan Lucie bukan siapa-siapa lo kan? Lo, dan Sargas, baik banget.”

Dimas menggeleng dan mengibaskan tangannya. Lalu ikut menyembunyikan tangannya di saku jaket seraya bersandar di sandaran kursi. “Nggak usah sungkan gitu. Muka Tante Mila suka butek kalau ngelihat rumahnya sepi. Dia nggak suka kesepian di rumah gede. Suami kerja, anak dua pada gede doyan keluyuran semua. Mungkin satu-satunya yang bikin nggak sendirian cuma Aila, anak paling bungsunya yang masih balita.”

“Lo nggak pernah ngunjungin beliau?”

“Pengennya. Bahkan Tante Mila sering nyuruh gue berkunjung. Nyatanya, gue paling nggak suka berpergian jauh-jauh kalau gak ada temen.” Dimas meringis.

“Ponakan lo yang balita itu umur berapa?” tanya Zoya.

“Setahun.”

Mata Zoya berbinar. Senyumnya melebar. “Bilang sama Tante lo, gue janji bakalan ramein rumah. Ish, setahun kan masih lucu-lucunya bayi!”

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang