d e l a p a n

155 27 2
                                    


⚫⚫⚫

HOBBIT!!

Dimas kaget, tak berlangsung lama karena selanjutnya dia menggertakkan giginya. Dia hapal betul suara itu, terutama apa yang diucapkannya. Nyatanya, setelah tiga tahun Sargas memanggil dirinya dengan sebutan itu, Dimas masih tak terbiasa. Tentu dia selalu kesal.

“Budeg apa gimana, sih, lo? Gue panggilin juga!” omel Sargas begitu di depan Dimas.

“Nggak merasa terpanggil tuh,” seloroh Dimas tak acuh.

“Ajegile, Hobbit mulai songong nih.”

Dimas menjitak kepala Sargas. “Jangan panggil gue gitu kek! Di depan umum pula! Emang dasar ampas lo!” ketusnya sambil melotot.

“Ooh, jadi kalau di tempat sepi boleh, ya?” Amarah Dimas tersulut. Sejurus kemudian tangannya yang sudah siap melayang ke kepala Sargas harus terhenti karena cowok berbandana biru tersebut keburu mengelak. “Udah kek! Lo pikir jitakan lo nggak sakit apa? Perih woy! Kepala nih kepala! Buat mikir!”

“Anak begajulan macem lo emang bisa mikir apa?”

“Bangke!” umpat Sargas. “Langsung aja ya, gue ke sini bukan ngajakin ribut walau sebenarnya gue pengen banget ribut sama lo. Jadi gini, Tante Mila yang ada di Singapur itu ... masih ada nggak, sih?”

“Eh anjir masih kali! Lo doain Tante gue mati apa gimana!” sembur Dimas.

Sargas segera mengibaskan tangannya. “Nggak begitu! Maksudnya, Tante Mila tuh masih tinggal di sana nggak?”

Dimas manggut-manggut. “Ooh, bilang dong. Masih.”

Sargas berdeham. Dia menatap Dimas penuh harap. “Lo kan pernah cerita kalau lo pengen ngunjungin dia, apalagi buat lihat keponakan lo yang umurnya baru setahun. Tapi nggak kesampaian karena lo selalu sibuk nugas. Sekalipun ada waktu, lo paling males ke sama kalau kagak ada temen berangkat.”

“Gue mau nawarin kesempatan bagus nih, mumpung mau liburan, yegak? Kami mau nemenin lo ke sana. Tapi ada syaratnya—”

“Tunggu, kami itu siapa aja?” potong Dimas.

“Ah iya! Itu poinnya. Kami itu gue, Lucie gebetan gue, dan Zoya yang kata lo cantik itu. Kami emang lagi butuh banget buat jalanin misi—soal ini gue ceritain lain kali deh. Intinya, kami pengin numpang di rumah Tante lo, sama pinjem mobilnya. Gimana?”

Dimas terpana sejenak—lebih tepatnya karena mendengar kata Zoya diikutsertakan. Dia lalu mengernyit kala kurang satu hal. “Kenapa harus lain kali?”

“Soalnya Lucie bakal marah kalau gue umbarin rahasianya,” jawab Sargas. Sebelum Dimas berspekulasi buruk, Sargas menambahkan. “Nggak macem-macem elah! Udah deh, soal cerita gampang. Sebelum berangkat, gue ceritain masalahnya. Tapi lo mau gak nih?”

Dimas nyengir. Dan Sargas tahu jawabannya apa.

🚀🚀🚀

“Luluuu! Rajin amat jam istirahat udah jaga perpustakaan. Emang nggak lapar apa? Mending makan sama gue di kantin. Kan enak.”

Lucie memutar bola matanya. Sargas tak pernah absen datang perpustakaan. Aktivitasnya ya monoton. Kalau tidak untuk menawarkan makanan dan ajakan ke kantin, paling juga ngoceh panjang lebar dan sesekali melontarkan candaan yang sebenarnya garing banget buat didengar.

Barulah, kalau sudah capek karena yang dicandain masih saja melempem, Sargas bakal diam, duduk anteng di sebelah Lucie.

Tak seperti sebelumnya, kali ini, Lucie memilih bungkam. Percuma, kalau dia ngomel-ngomel kayak kemarin juga Sargas nggak akan berhenti gangguin hidup Lucie. Lagipula, Lucie tak mau repot-repot mencari pengganti perpustakaan untuk tempatnya menjernihkan pikiran.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang