s e m b i l a n b e l a s

111 15 8
                                        

📯📯📯

LUCIE tak henti-hentinya memandangi layar ponselnya yang menampilkan histori nomor panggilan terkininya. Jika biasanya keluarganya yang selalu memenuhi daftar panggilan Lucie, kali ini nama berbeda. Nama Sargas yang berada di posisi teratas di panggilan terakhir Lucie.

Namun bukan itu masalahnya.

Jam sudah menunjuk angka sebelas. Tengah malam begini, Sargas tiba-tiba menghubunginya dan memintanya keluar kamar sebentar.

Masalahnya adalah, untuk apa dia harus melakukannya? Memangnya apa yang akan dia lakukan?

Drrtt.. Drrt..

Lu, gue udah di depan kamar lo. Bukain pintu dong!” perintah suara di sebrang sana yang membuat Lucie tak habis pikir. Apa susahnya sih Sargas tinggal mengetok pintu daripada harus menelpon seperti ini?

Dasarnya emang kelebihan pulsa itu orang!, rutuk Lucie seraya bangkit untuk membukakan pintu. Dia menaikkan satu alisnya kala melihat Sargas tersenyum lebar menatapnya, tak lupa serta melambaikan tangannya.

“Ikut gue, yuk!” serunya.

“Kemana?” Lucie menahan tangannya yang ditarik oleh Sargas.

“Ke pelaminan—eh! Udah, ikut aja. Gue janji nggak bakalan macem-macem juga,” sahut Sargas.

“Gue mau tidur!” tolak Lucie.

“Yah, jangan gitu lah. Bentar doang kok!” timpal Sargas. Dia menampakkan wajah memelasnya. Kedua telapak tangannya menyatu di depan dada. “Ya? Ya? Ya?”

Lucie hanya memandanginya dengan muka datar, tanpa berminat untuk merespon.

“Lu, mau dong. Terakhir ajakin lo malem-malem deh.”

Lucie menghela napas. Dan saat itu lah senyuman Sargas mengembang lebar.

☄☄☄

Rumah pohon di belakang rumah. Tempat itu membuat Lucie gemas sendiri. Cuma di rumah pohon doang kenapa pakai sok misterius gitu sih! Padahal Lucie sudah berpikir cowok itu akan membawanya ke pelaminan beneran.

Eh?

Oke, lewatin aja.

Tapi, yang Lucie tak tahu, rumah pohon ini benar-benar indah. Terdapat lampu-lampu kecil berwarna-warni terpasang di sisi dinding. Di tengah, terdapat karpet tebal untuk alasnya. Juga, terdapat pagar kecil dari kayu di sebelah tangga. Poin pentingnya, tempat kecil ini nyaman ditempati karena sangat bersih.

“Kita ngitung bintang jatuh, yuk!” ajak Sargas sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. Sekarang ini, dia dan Lucie tengah duduk di tepian dan dengan kaki yang menggantung di udara bawahnya lewat celah pagar.

“Emang ada?” Sudut bibir Lucie tertarik.

Sargas mengangguk. Ia membenarkan letak bandana merahnya. “Gue udah cek jadwal hari ini. Bisa dilihat dengan mata telanjang kok.”

Lucie memperhatikan bandana itu dengan seksama. “Gue mau tahu, kenapa sih lo mesti pakai itu kemana-mana?”

Sargas menoleh, melihat tatapan Lucie yang mengarah pada sesuatu di dahinya. Ia lalu tersenyum dan melepas bandananya. Rambut panjang pun jatuh ke dahinya. Bahkan ada salah satu bagian yang sampai mengenai mata. Tanpa sepengetahuan Sargas, Lucie menahan napasnya.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang