d u a p u l u h t u j u h

118 14 0
                                        

⚫⚫⚫

"HABIS pulang dari sini jangan lupa lakuin yang semalam kamu bilang." Lucie memutar bola matanya, jengah karena Rei terus mengulang kalimat itu sejak subuh. Melihat gelagat Lucie, Rei mengacak-acak rambut cewek di depannya itu sambil tertawa. "Kan cuma ngingetin, apa salahnya sih?"

Lucie mengangkat bahunya, malas menanggapi lebih lanjut. Sekarang, dia sudah merasa lebih baik. Semalam, dia menginap di rumah Rei. Dan semalaman penuh Lucie mencurahkan segala yang dialaminya kepada cowok itu. Hampir tak memberikan waktu untuk Rei tidur. Tentu, dia tak protes.

"Jam berapa pesawatmu take-off?" tanya Rei.

"Sebentar lagi."

"Oke. Jangan lupa skype tiap malam. Aku masih kangen."

Lucie melotot. "Gila ya kamu. Sebulan sekali aja."

Lucie memerhatikan Rei yang kemudian tertawa, hingga matanya menyipit. Dia sering tertawa sekarang. Bahkan hal kecil pun Rei tertawakan. Aneh.

Rei maju selangkah untuk memeluk Lucie. Perlahan pelukannya mengerat. "Aku sayang kamu. Kurangin belajarnya, sosialisasi juga penting."

"Iya astaga," balas Lucie gemas. "Kamu nggak ada kesan pesan lain apa? Terakhir kali kamu ninggalin aku juga itu pesannya."

Rei mengacak-acak rambut Lucie. "Ingat aja. Berarti ketahuan kamu sering mikirin aku," katanya, langsung saja dibalas cubitan sadis di perutnya oleh Lucie. Rei meringis, lalu mengeratkan pelukannya.

"Yaudah ganti. Kamu jangan nangis lagi kayak kemarin, bikin orang panik tahu! Terus jadi cewek tuh yang peka dikit---hargai yang cowok lah. Terakhir, kalau udah taken bilang, oke?"

Lucie melepas pelukannya. "Nggak ada pulsa."

"Masa? Tapi berkali-kali nelpon mbak-mbak kuis bisa tuh," sindir Rei menohok. Wajah Lucie memerah, namun dia menjulurkan lidahnya untuk menutupi rasa malunya itu.

Dia menatap mata Rei dalam-dalam. Memang, takdir itu penuh misteri. Tiga tahun yang lalu, Lucie masih mengharapkan cowok di depannya. Namun, siapa sangka bila harapan itu justru berbalik arah begitu dia berhasil sampai sekarang ini.

Dan hatinya justru memihak pada seseorang yang telah membantunya untuk mengejar cowok bermata abu-abu di depannya.

"Hati-hati, ya."

🍃🍃🍃

Pukul 09.30. Lucie menengadah. Sedari tadi, dia terus menerus menatap arlojinya, seakan tiap perpindahan jarum jam dapat membunuhnya dalam sedetik. Dia mencengkram kuat-kuat kopernya.

Berbekal dari ucapan Rei, akhirnya Lucie memberanikan diri untuk melangkah memasuki rumah bercat tosca tersebut. Yang pertama kali dilihatnya adalah, seluruh keluarganya berada di ruang keluarga, sedang mengobrol entah apa itu. Raut mereka begitu serius sehingga tak menyadari kehadiran Lucie.

"Semuanya, Lucie pulang," kata Lucie bergetar. Sontak semua orang menoleh ke arahnya. Sangat terkejut mendapati orang yang tadi mereka obrolkan kini berada di tengah-tengah mereka.

Yang pertama berlari menghampiri Lucie adalah Mama. Beliau langsung memeluk Lucie erat-erat, dan seketika tangis yang Lucie tahan akhirnya tumpah.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang