t u j u h

166 28 4
                                    


⚫⚫⚫

GAS, awas!”

Sargas menambah kewaspadaannya. Fokusnya berada pada bola yang tengah digiringnya, menjaga agar dua orang di depannya tak berhasil merebut bolanya. Sargas sesekali bergerak ke kanan dan kiri untuk mengecoh mereka.

Barulah ada celah, Sargas memanfaatkan keadaan untuk mengumpan bola. “Don!” teriaknya sebelum menendang bola tersebut dengan keras, melambung cepat ke arah Doni yang posisinya dekat gawang.

Doni yang menerima bola tersebut lantas mengatur ancang-ancang untuk memasukkan ke dalam gawang. Di belakang, tim lawan bersiap merebut bola. Sementara kiper di depannya menatapnya hati-hati. Tanpa babibu lagi, Doni mengerahkan kekuatannya ke kaki. Lalu segera menendang bolanya.

Selanjutnya, suara kehebohan langsung bersahutan. Kini, skor tim Sargas unggul dua poin ketimbang lawannya.

Tapi itu tak berlangsung lama. Mereka segera memulai lagi babak baru. Baru saja Sargas bersiap, sudut matanya menangkap sosok cewek berambut keriting seleher baru datang. Dia tampak imut dengan sweater kuning yang dipakainya. Dengan itu senyuman Sargas terkembang lebar.

“LULU!” teriak Sargas.

Lucie celingukan mencari sumber suara, hingga pandangannya jatuh ke arah Sargas yang melambaikan tangan ke arahnya. Seketika tatapannya menajam. Tak ingin mengambil pusing, Lucie segera melanjutkan jalannya.

Guys! Gue cabut, ya! Ada urusan bentar!” Sargas menoleh ke arah Anwar yang duduk di pinggir lapangan. “War! Gantiin gue, ya!” teriaknya yang dibalas acungan jempol oleh cowok itu.

Sargas mempercepat langkahnya agar menyamai langkah Lucie. Ia menyenggol lengan cewek itu kala berada di sebelahnya. Lucie tersentak, dan Sargas nyengir. “Pagi Lulu! Tadi disapa kok malah main nyelenong aja, sih?”

Lucie memutar bola matanya. Dia masih saja bersikap tak acuh saat Sargas melontarkan ocehan-ocehannya.

“Lulu tumben baru datang. Kenapa? Kesiangan, ya? Alarmnya nggak nyala? Nggak ada yang nganterin? Oh, iya, tadi Lulu bareng siapa?”

“Lu, udah sarapan belum?”

“Lu, masih marah, ya?”

Sebagian murid yang berada koridor memperhatikan keduanya dengan mata membesar, tertarik. Salah satu dari mereka mengangkat tangannya. “Gas!”

Yang dipanggil kontan menoleh. Dia balas tersenyum seraya mengangkat tangannya. “Yo!” Setelahnya, dia memusatkan perhatiannya pada cewek di sebelahnya.

“Maafin dong Lu. Nggak baik loh, marah lama-lama. Ntar dosa.” Mereka menaiki anak tangga. “Omong-omong, gimana browniesnya kemarin? Lo makan nggak? Enak?”

Nggak sedikit pun gue makan, batin Lucie. Dia makin mempercepat langkahnya. Berlama-lama dengan Sargas akan membuatnya kesal sendiri. Akhirnya, dari sekian banyak cara untuk menghadapi Sargas, Lucie memilih untuk mendiamkannya. Lucie bernapas lega. Sebentar lagi dia akan sampai di kelasnya.

“Oh, jadi yang letaknya di ujung gedung dua itu kelas lo? Aih, kenapa gue baru sadar, ya?” kata Sargas basa-basi. Padahal dia tahu banget kelas Lucie yang mana. Dia bahkan sering mencuri pandang ke arah kelas itu dan berharap siapa tahu akan melihat Lucie di sana.

“Tenang aja, Lu, gue bakalan sering-sering main ke kelas lo kok.”

Lucie mengambil langkah cepat saat berada di depan kelasnya.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang