⚫⚫⚫
LUCIE menengadahkan kepalanya hingga tengkuk belakangnya menyentuh ujung sandaran kursi. Maniknya menatap bintang-bintang di langit sambil menyipitkan matanya karena posisi duduknya yang berdekatan dengan lampu taman. Kakinya mengayun. Jarinya saling terpaut, gemetar.
Sargas, Zoya, dan Dimas telah pergi. Setelah terdengar kabar Lala kecelakaan, mereka langsung memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Tak ada sepatah kata yang terucap dari mulut Sargas dan Zoya. Mungkin hanya Dimas yang seolah mewakilkan untuk berpamitan kepada dirinya.
Itu bukan salah mereka. Karena Lucie sendiri yang membuat mereka meninggalkan dirinya. Masih teringat wajah kecewa Sargas yang mengusik hatinya. Serta wajah marah Zoya yang membuat semuanya memburuk.
Belum pernah Lucie merasa benar-benar sendirian seperti ini.
Usai mereka pergi, Lucie pun memutuskan untuk menghubungi Rei, diiringi degup jantungnya yang berpacu dua kali lipat. Dia tak memiliki pilihan lagi. Kemudian, terdengar suara yang amat sangat Lucie rindukan turut membalas sahutannya. Nada khawatir, dan disinilah Lucie berada, menunggu cowok itu menjemputnya.
Pelupuk mata Lucie terasa panas. Cobaan terberatnya adalah saat dirinya berpamitan dengan Tante Mila, wanita yang selang beberapa hari saja bisa membuat Lucie merasakan ikatan seorang ibu dan anak. Wanita tersebut seakan tak rela melepas dirinya. Tersirat nada khawatir dari suaranya yang mengingatkan Lucie pada Mamanya. Beliau sengaja mengulur waktu agar Lucie tak angkat kaki dari rumah mereka.
Namun, jawaban atas permintaan itu adalah sebuah gelengan. Lucie tak bisa merepotkan keluarga Tante Mila terus-menerus. Mencoba mengerti, Tante Mila akhirnya menerima keputusan Lucie. Beliau sempat memeluknya sampai bulir bening menetes di wajahnya.
“Lucie?”
Refleks Lucie berdiri tegak. Dia menatap orang berkemeja hitam yang kini sudah menggenggam tangannya erat, seolah menenangangkannya. Iris abu-abu miliknya masih sama. Gelap, dan menyimpan banyak rahasia yang sering membuat Lucie menebak-nebak apa isinya. Rambutnya lurus pendek, tersisir rapi ke belakang. Alisnya tebal. Dahinya mengerut, menandakan apa yang dia rasakan sekarang.
“Aku kangen kamu,” kata Lucie seraya memeluk tubuh Rei, menenggelamkan kepalanya di dada cowok itu. Tangis yang ia tahan kini melebur.
“Aku disini,” balas Rei. Ia masih tak menyangka cewek itu meneleponnya. Mengatakan kalau dia sudah berada di Singapura dan ingin bertemu dengannya. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia utarakan, namun urung karena melihat kondisi Lucie sekarang.
Sementara, Lucie berusaha menenangkan dirinya. Selama ada dia dan Rei, dia akan aman. Semuanya akan baik-baik saja.
🍃🍃🍃
“Gimana?”
Lucie menyeruput tehnya lagi. Aroma khas dari teh tersebut membuat Lucie seketika merasa tenang. Dia akhirnya menyeruput lagi.
Sekarang ini, mereka tengah duduk bersisian di atas kap mobil, di depan sebuah kafe 24 jam. Lampu beragam warna yang didominasi warna merah tersebut menyinari wajah Rei.
Lucie balas menatap Rei yang kini terus menatapnya lekat-lekat. Seperti biasa, dia tampan. Sedari dulu, dia tak pernah bosan memandangi wajah tampan cowok itu. Akhirnya, dia berhenti menyeruput tehnya. Ia tersenyum. “Makasih.”
“Nggak perlu. Penting lihat kamu enakkan aja aku udah lega banget,” kata Rei. “Jadi?” ia akhirnya menyinggung topik itu, membuat Lucie menghela napasnya.
“Maaf bikin kamu khawatir tengah malam begini. Aku janji bakal jelasin semuanya ke kamu,” buka Lucie. Dia menarik napasnya, kemudian mengembuskannya perlahan.
“Kamu. Kamu alasan aku untuk berani pergi jauh-jauh ke sini. Aku mau bilang sesuatu yang udah tiga tahun lamanya aku nggak berani bilang ke kamu. Aku cinta kamu.”
Seketika Rei terkejut. Dia tak bisa berkata apa-apa. Dulu, dia tahu kalau Lucie menyambut perasaannya. Selama beberapa tahun bersamanya, perasaan itu tak berubah. Membuat Rei yakin tentang keputusannya itu. Namun, entah kenapa Lucie terus mengelak, hingga pada saat Rei menembak cewek itu, jawabannya pun sama.
Lucie berusaha menepis perasaan itu. Menganggap itu bukan apa-apa. Entah karena keraguan, atau dia memang benar-benar tidak ingin mencintai Rei. Tapi sekarang?
Seperti memperburuk keadaan, tiba-tiba ponsel Rei berbunyi. Menampilkan foto seorang gadis, cantik, sedang berfoto berangkulan dengan Rei. Bernama Nicola. Buru-buru Rei menolak panggilan tersebut dan segera menyembunyikannya. Namun sia-sia, Lucie sempat melihatnya.
Cewek itu membuang mukanya. Rautnya berubah. Dia tersenyum, begitu tipis. Aku terlambat. Harusnya aku nggak kaget. Kan bagian dari risikonya juga.
Rei turun dari kap mobilnya. Dia menangkup wajah Lucie, dan mencoba menyelami isi matanya. Lucie terkejut, tapi urung mengeluarkan suara karena manik mata Rei yang begitu intens dapat membungkam mulut Lucie. Kemudian, dia tersenyum. Tatapannya berubah lembut.
“Bohong. Kamu belum cerita semuanya, Lucie,” jelas Rei.
Lucie sempat bingung, lalu tersadar. Dia balas senyum. Di antara semua teman dekatnya, hanya Rei yang paling bisa mengetahui apa yang Lucie rasakan. Akhirnya, dia menceritakan perjalanannya dari Jakarta sampai di sini. Termasuk soal Zoya, Dimas, dan Sargas—beserta apa yang dia rasakan pada cowok itu.
Rei menggengam tangan Lucie, lalu menariknya perlahan untuk menyandarkan tubuh Lucie ke dadanya. Rei memeluknya erat. “Keras kepala, kayak dulu,” ujarnya seraya terkekeh pelan. Tak sulit memahami Lucie, bahkan dari mimiknya saja sudah ketahuan. Dia cuma terguncang. Bukan patah hati sungguhan.
“Sori aja aku nggak akan bilang maaf karena aku nggak ngebalas perasaan kamu. Karena sejak awal, hati kamu bukan buat aku. Memang tadinya iya. Tapi enggak untuk sekarang. Hati kamu buat dia, jadi, kejar Lu.” Sebelum semua terlambat.
Untuk sesaat, Lucie mendongak untuk menatap iris abu-abu cowok di depannya. Mencari kebenaran dari ucapannya. Dan keyakinan penuh yang tersirat dari iris Rei menegaskannya. Mematahkan keraguan Lucie selama ini.
Kini, Lucie dapat tersenyum. Seulas senyuman terima kasih, dan menyambut sebuah harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Get Message From Me
Ficção Adolescente"Jangan lupa nanti passwordnya kalau Kaela bilang 'Biskuit Gula-gula', jawabnya 'Enak dan menyehatkan!'. Kita tunggu penelepon pertama nih!" Tuut .... Tuuut .... Tuuuut .... "Halo?" Lucie terlonjak senang. "ENAK DAN MENYEHATKAN!!" teriaknya duluan t...
