t i g a

242 40 2
                                    


⚫⚫⚫

LUCIE menatap Zoya yang berdiri di depan kamarnya dengan menenteng tas kuning berukuran sedang miliknya. Cewek itu tersenyum lebar saat Lucie membukakan pintu untuknya.

“Lagi?” kata Lucie tanpa berbasa-basi. Alisnya naik sebelah.

“Gue nggak dipersilakan masuk dulu nih?”

Terdengar suara pintu berderit terbuka dari kamar sebelah yang merupakan kamar Kak Dita. Kak Dita keluar dengan pakaian kaos putih bermotif lucu di bagian depan. Ia memakai rok merah jambu sebagai bawahannya. Melihat penampilan itu, membuat Lucie mengernyit.

“Mau keluar lo, Kak?” tanyanya.

Kak Dita mengangguk. “Jangan lupa bilangin ke Mama.” Ia melihat Zoya, seketika senyumnya mengembang kala melihat cewek itu. “Zoy.”

“Hai, Kak! Malam mingguan, ya?” Zoya balas tersenyum. “Gue nginep di rumah lo lagi, ya?”

“Boleh. Santai aja lagi,” kata Kak Dita. Tatapannya kemudian beralih ke arah Lucie. “Lu? Kok nggak disuruh masuk?”

Lucie yang tengah memperhatikan interaksi keduanya lantas berpaling. Dia sadar kalau sedari tadi tangannya masih memegang gagang pintu. Lucie segera menyingkir, memberi jalan masuk kepada Zoya.

“Oke deh, gue berangkat dulu ya,” pamit Kak Dita.

Have fun!” ucap Zoya di ambang pintu. Kak Dita menoleh sambil mengacungkan jempolnya.

Kak Dita dan Zoya memang sangat dekat. Hal itu terjadi karena Zoya sering main ke rumah Lucie. Keseringan cewek itu berkunjung dikarenakan karena orangtuanya workaholic. Mereka jarang pulang ke rumah. Hanya bersama Bi Wina—pengasuh Zoya—ia berada di rumah yang memiliki ukuran seluas lapangan tersebut.

Lucie sangat menyayangkan kasih sayang yang orangtua Zoya berikan. Tapi mau bagaimana lagi, yang Lucie lakukan hanyalah menemaninya, dan menyediakan tempat singgah untuknya.

Lucie berjalan menuju meja belajarnya yang dipenuhi tumpukan buku-buku berserakan. Matanya tak sengaja menangkap fotonya bersama Zoya dengan latar belakang sekolah. Di foto itu, mereka masih menggunakan seragam sekolah lengkap.

Tanpa sadar seulas senyum tipis Lucie terkembang. Ia ingat awal pertemuannya dengan Zoya. Saat hari pertama MOS, Lucie datang terlambat. Membuatnya dimarahi oleh kakak OSIS dan kemudian digiring menuju lapangan, disuruh lari keliling lapangan lima putaran. Kebetulan, di sana ada Zoya juga.

“Eh, ada anak baru,” sambutnya ketus saat itu.

Lucie mengernyit, dan memperhatikan seragam putih-biru Zoya. “Bukannya kamu juga anak baru?”

“Nggak, sih. Gue udah datang sepuluh menit lebih awal dari lo.” Suara Zoya masih seketus sebelumnya, membuat Lucie bingung akan kesalahan apa yang telah dibuatnya hingga membuat Zoya sekesal itu. Zoya mendengus, dia melirik botol di tas Lucie. “Bagi minum dong! Haus nih!”

Lucie membeo. Lalu tersadar dan mengambil botolnya. Ia menyerahkan botol tersebut kepada Zoya. “Nih.”

Selama sesaat, Zoya memperhatikan isi botol tersebut. Dahinya mengerut. “Ini air putih, ya? Huh, lo nggak bisa bawa yang lebih elit dikit apa? Kayak jus kek, sirup kek, atau apa gitu!” Awalnya Lucie siap membuka mulut karena tidak terima dijelek-jelekan. Namun, niatnya terhenti begitu Zoya berkata, “Alah, seadanya deh. Gue abisin, ya!”

Lucie hanya mendengus melihat botolnya yang seketika habis kena tenggak oleh cewek di depannya.

“Nama lo siapa?” tanya Zoya setelahnya sambil mengulurkan tangan. “Gue Zoya.”

Lucie membalas jabatan tangan itu. “Lucie.”

“Oke, mending sekarang kita buruan lari. Asal lo tahu, gue bisa jamin kuping lo bakal ngeluarin asap setelah dengerin omelannya kakak OSIS yang ngalahin petasan banting.”

Namun, setelah mengenal Zoya lebih dekat, cewek itu tidak sesongong kelihatannya. Dia banyak omong, suka membantu, pengertian, dan sangat baik. Hanya saja waktu itu kebetulan dia memang sedang dalam mood buruk. Ayahnya berbohong akan pulang ke rumah dan mengantarnya di hari pertama masuk sekolah.

Mereka pun sering berbagi masalah, obrolan, atau apa pun yang menarik. Hal itulah yang membuat mereka semakin akrab. Lucie sangat beruntung memiliki teman seperti Zoya untuk ukuran cewek introvert seperti dirinya.

Ya, Lucie menganggap dirinya tidak menarik. Tak ada bakat istimewa dari dirinya. Soal fisik, Lucie jauh dari kata cantik. Mungkin pas-pasan. Dia tidak setinggi Zoya. Kulitnya putih bersih. Rambut ikalnya berwarna cokelat gelap seleher. Bibirnya merah tipis. Matanya bulat almond. Lagi, hidung Lucie tidak mancung sama sekali.

Tapi, Zoya membantah hal itu. Dia berkata, “Cantik itu relatif. Dan itu tergantung persepsi masing-masing orang yang ngeliatnya. Lo nggak perlu mengikuti standar pandangan ‘cantik’ mereka. Lo hanya cukup buat diri lo cantik dengan cara lo sendiri.”

Dan sampai sekarang Lucie masih mengingatnya.

“Lo ngelamunin apa, sih?” tanya Zoya, membuat Lucie tersadar dan mengalihkan perhatiannya pada Zoya.

“Eh? Nggak ada,” sahut Lucie.

“Masa?”

“Bodo. Udah ah, diem lo,” kata Lucie. Dia mengambil salah satu buku, dan membuka. Perhatiannya kini terfokus pada buku yang dibacanya. Tak sadar kalau Zoya tengah menatapnya dengan dahi mengerut.

“Lo belajar, Lu?”

Lucie bergumam. Seolah tak perlu repot menjelaskan panjang lebar akan sesuatu yang jelas.

“Gila! Lo sama sekali nggak ngehargain gue, Lu! Gue kan repot-repot datang ke rumah lo bukan untuk dikacangin,” omel Zoya. Ya, bukan suatu hal baru dia ngomel-ngomel nggak jelas kayak begitu setiap ia ingin menginap di rumah Lucie. Zoya memang malas belajar. Makanya nilai dia pas-pasan.

“Minggu depan UAS. Gue harus belajar. Lo juga belajar sana!”

“Kan masih minggu depan, Lu.”

Lucie berbalik dan melotot. “Minggu depan lo bilang ‘masih’?”

Zoya menguap. Dia mencari posisi ternyamannya di kasur Lucie. “Pantesan Rei bilang lo sesekali harus main. Orang hidup lo cuma berporos sama buku,” cibirnya.

Awalnya, Lucie tidak suka bila seseorang tiba-tiba mengungkit masa lalunya dengan Rei. Termasuk Zoya. Namun, lama-kelamaan, Lucie tak keberatan. Jadi, dia hanya balas mendengus.

By the way, lo masih ikutan kuis?” tanya Zoya dengan topik sama.

“Masih lah!”

“Lo sebegitu niatnya, ya, ngumpulin duit dari acara kuis-kuis buat nyusul pujaan hati lo,” komentar Zoya. Dia memijat pelipisnya. Jujur saja, baru kali ini dia mendapati seseorang yang begitu gigih dalam soal cinta.

Lucie tersenyum. “Cinta terkadang bisa membuat orang jadi gila.”

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang