s e m b i l a n

124 20 0
                                        


⚫⚫⚫

DERETAN nomor itu masih terpampang di ponsel dengan pemilik yang masih ragu menghubunginya atau tidak, bahkan setelah bermenit-menit lamanya.

Pikirannya kacau. Gelisah, senang, takut teraduk menjadi satu. Sepulang dari rumah Rei, serta bertemu Risa hingga meminta nomor telepon kakaknya itu, baru kali ini Lucie berani membuka kembali kontak di ponselnya.

Ingin Lucie mengabarkan Rei kalau dia akan menyusulnya. Mungkin cowok itu akan menjemputnya di Bandara. Tapi tertahan saat dia ingat kalau hubungannya dengan Rei masih tak menentu. Mereka saja belum pernah kontakan—setelah tiga minggu sejak kepergian Rei.

Aku suka kamu.

Ah, persetan! Lucie bangkit dan mengambil kopernya dari kolong tempat tidur.  Ia membuka lemari, mengambil beberapa pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. Tak lupa dia memasukkan obat-obatan bila perlu, sepatu, buku dan perlengkapan lainnya.

Setelah semuanya siap—termasuk uang, tiket, KTP, paspor, dan lainnya di tas kecil, Lucie melirik jam dinding. Tengah malam ini, dia akan berangkat. Tak lupa, ia menyempatkan menulis surat untuk orangtuanya. Kemudian menaruhnya di sela pintu kamar masing-masing.

Ma, Pa, aku pamit. Maaf aku pergi nggak bilang-bilang. Mama sama Papa nggak usah khawatir. Aku pasti baik-baik aja. Aku janji ini cuma sebentar kok, setelah itu aku pulang.

—Lucie.

Dan satu lagi untuk Kak Dita.

Kak Dit, gue pamit ya. Gue ikutin saran lo nih. Gue janji gue bakal ngomongin perasaan gue pas sampai di sana. Eh, pas ketemu Rei sih. Doain gue ya.

Ps: jangan kasih tahu ini ke Mama sama Papa, ya? Gue pengin ngomong sendiri.

—Lucie.

🚀🚀🚀


Lucie mengencangkan jaketnya. Lampu kamar sudah dia matikan. Dia menarik kopernya menuju jendela, dan melemparkannya keluar. Lalu, dia ikut pun keluar lewat jendela. Sebisa mungkin pergerakannya tak menimbulkan suara keras. Apalagi sampai membangunkan orang rumah.

Udara malam langsung menusuk kulit. Suasananya sudah sepi, hanya suara jangkrik bersahutan yang terdengar. Lampu-lampu rumah tetangga sudah dimatikan. Dia menilik arloji, sekitar sejam lagi jam keberangkatannya, yang artinya, Lucie harus cepat.

Lucie mengangkat kopernya—yang untung tidak berat karena barangnya tak terlalu banyak—sampai belokan depan, dimana masih terdapat tukang ojek yang beroperasi di malam hari.

Lucie mempercepat langkahnya untuk sampai ke sana. Senyum yang sedari tadi terukir di bibirnya pudar kala terlihat sebuah mobil bergerak ke arahnya. Lucie berhenti. Matanya menyipit karena silaunya cahaya mobil. Hingga mobil tersebut berhenti tepat di depannya.

“Hai Lu!” sapa seseorang yang suaranya terdengar asing. Lucie membuka mata, terlihat dua orang turun dari mobil. Mereka Zoya dan Sargas. Lucie seketika terkejut. “Di sini!” sahut seseorang yang membuat Lucie mengalihkan pandangannya ke arah mobil. Cowok bertubuh gemuk tengah melambaikan tangannya ke arah Lucie dari kursi penumpang depannya lewat kaca mobil.

“Kalian....”

“Kami nggak nerima penolakan. Apa pun alasan lo buat melarang, kami nggak peduli. Kami ikut!” Zoya berkata tegas. Di sebelahnya, Sargas bersandar di pintu mobil sambil cengar-cengir.

Tatapan Lucie menajam. “Apa urusan kalian sih? Ini urusan gue. Kalian nggak berhak ikut campur! Dan elo Zoy, sumpah ya, penghianat banget lo. Lo nggak pernah mau dengarin gue.”

“Penghianat apaan sih, Lu? Niat kami baik, buat nemenin lo—”

“Gue bukan anak kecil!”

“Terserah! Gue, sebagai sahabat, nggak mungkin tega ngebiarin lo ke sana sendirian! Sori banget kalau lo marah, yang jelas, gue sama sekali nggak nyesel ngerencanain ini bareng Sargas dan Dimas,” balas Zoya berani, kelihatan dia pun mulai tersulut.

Sebelum Lucie menyahut, Sargas berdiri sambil mengangkat tangannya. “Kakak-kakak, udah ya berantemnya, mending kita cepetan berangkat sekarang sebelum terlambat, okey? Buat lo Lulu, nggak usah ngambek. Kami nggak gangguin lo juga nanti. Lo selesaiin masalah lo sendiri. Sementara kami liburan. Adil kan?”

“Gue berangkat sendiri,” ketus Lucie. “Lagipula gue udah mesan tiket sendiri.”

“Yakin tiket itu masih ada?”

Seketika Lucie tersentak. Dengan cepat dia membuka tas kecilnya dan merogoh isinya, berharap menemukan apa yang dia cari. Tapi nihil. Dia mendongak. “Lo....”

“Jelas nggak ada lah. Nggak tahu aja gue bisa dengan mudah nyabotase tiket lo,” jelas Zoya enteng sambil tersenyum sinis. Dia masuk ke mobil duluan.

“Lo kemanain tiket gue?!” kesal Lucie yang tak mendapat respon dari Zoya. Yang ada, Sargas malah berjalan mendekati Lucie, mengangkat koper cewek itu. Lucie sempat menarik kembali barangnya, tapi urung karena Sargas lebih kuat.

“Udahlah, ikut aja Lu. Kami udah booking tiket buat lo juga. Percuma lo nolak, sekalipun lo undur penerbangan, kami juga bakal terus ngikutin lo. Aneh, bukannya lebih enak ke sana bareng-bareng?” kata Sargas. Dia meletakkan koper tersebut ke bagasi.

“Ayo masuk!” Sargas menggandeng tangan Lucie yang seketika ditepis oleh cewek itu. Sargas mengangkat bahu, memilih masuk terlebih dahulu. Di sebelahnya, Zoya duduk dengan tatapan ke arah jalanan. Rautnya kesal bukan main. Rupanya dia tersinggung akan kata ‘penghianat’ dari mulut sahabatnya itu.

“Nggak usah dipikirin kali, Zoy. Wajar aja kalau Lulu begitu. Dia kan belum bisa nerima keadaan. Bukannya lo sendiri yang bilang kalau kita sama-sama wajib maklum terhadap dia?” Sargas tersenyum. Zoya menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangannya.

“Hm,” gumam cewek itu pendek, bertepatan dengan Lucie yang masuk ke dalam.

🚀🚀🚀

Lucie memandang mereka. Zoya sedang check-in. Sargas menjauh untuk menelepon. Dan satu lagi teman Sargas entah siapa namanya sedang melihat papan keberangkatan. Semua tampak normal.

Tapi tidak bagi Lucie.

Tidak dia sangka sahabatnya bertindak seperti itu. Merencanakan keberangkatan bersama ke Singapura untuk dirinya. Dia bahkan mengajak Sargas, orang yang paling Lucie hindari, dalam misinya. Termasuk satu teman Sargas yang satu itu.

Lucie tak mengerti tujuan mereka melakukannya. Kenapa bisa mereka mau jauh-jauh dari rumah untuk menemaninya? Kenapa mereka mau buang uang banyak-banyak untuk ke luar negeri hanya untuk dirinya?

Sekelebat pikiran yang menyeruak tiba-tiba terhenti saat salah satu teman Sargas datang menghampirinya.

“Hai!” sapanya, dengan senyuman lebar. Lucie tak merespon, bisa ditebak kalau mukanya sudah tertekuk sekarang. “Kita belum kenalan, ya? Kenalin, gue Dimas.”

Dimas bertubuh pendek dan gemuk. Namun, ketika menatapnya, bawaannya Lucie ingin meringis—meski dalam keadaan tersenyum. Bagaimana tidak, matanya yang bulat selalu menatap sayu. Hidungnya kembang kempis. Alisnya membentuk turunan hingga dahinya berkerut. Terlebih wajahnya cokelat kemerahan. Itu dia lagi sedih apa bahagia, sih? Ah, mungkin saja hidupnya penuh drama.

Dimas berdeham selagi menarik tangannya. “Oke, nggak perlu jabat tangan. Gue udah kenal lo kok. Lucia kan?”

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang