s e p u l u h

123 20 0
                                    


⚫⚫⚫

LO nggak pengertian, sih. Tolong dong Lu, gue direbutin cewek-cewek tadi! Lo emang nggak cemburu apa?”

“Tunggu!” sergah Lucie saat dilihatnya Sargas ikut duduk di sebelahnya. Seusai menutup telepon, cowok itu selalu mengekorinya. Entah saat menunggu di pintu masuk, ke kafetaria untuk membeli teh, bahkan saat Lucie ke toilet pun dia ikut.

Ralat, dia menunggu di luar sebenarnya. Pas ditanya, ada saja alasannya. Biar nggak kabur lah, diculik setan lah, tersesat lah. Gila saja alasan cowok itu untuk modus. Risih kali diintilin seperti itu! Belum lagi adanya gangguan dari luar. Ingat kan kalau muka Sargas mirip—sebelas dua belas—dengan muka Adipati Dolken?

Nah, jadi, sepanjang waktu, orang-orang pada sibuk melototin Sargas, terpana. Apalagi cewek-cewek yang sudah memekik tertahan karena tak menyangka dapat bertemu bintang film pujaan hati mereka. Kebetulan Lucie ada di sebelah Sargas, jadi, dia harus rela menahan malu karena turut serta dilihatin banyak orang.

Namun, begitu orang-orang tahu Sargas merupakan kloningannya Adipati, mereka kompak mendengus sambil membuang muka. Sebagian lagi masih terang-terangan menatapnya heran kenapa Sargas bisa semirip itu. Tapi, tak sedikit juga yang malahan minta foto.

Dih, buat apa coba?

“Apa?” tanya Sargas dengan muka bingung.

“Lo ngapain di sini?”

“Duduk,” jawab Sargas polos.

“Kenapa duduk di sini?” tuntut Lucie.

“Karena nggak duduk di sana—AW!” seru Sargas sesudah Lucie menendang kakinya dengan segenap jiwa. Amboy, perihnya itu loh. Mungkin saja itu gabungan dari kekesalan yang dia pendam selama ini, hingga menyebabkan tendangannya mampu mengalahkan tendangan Leonel Messi.

Diam-diam Sargas meringis. Ada dua situasi yang mempengaruhi korsletnya otak Sargas saat menjawab. Yaitu saat dia membeo dan saat dia kesal. Itu semua terjadi secara refleks. Salah satunya adalah alasan membuat Lucie melakukan hal kejam padanya.

“Kan gue emang duduk sini, Lu,” jawab Sargas seraya mengusap-usap kakinya.

“Kenapa harus di sebelah gue? Lo yang ngerencanain ini, ya? Nggak usah modus lo!” semprot Lucie dengan alis berkerut marah.

“Kok gue? Kan dari tadi gue ngikutin lo. Salahin Zoya dong.”

Dia mengalihkan pandangannya ke Zoya yang berada di deret bangku sebelah, yang terpaut satu baris di depan Lucie. Dia duduk di sebelah Dimas, sambil menatapnya menggoda. Perlakuan itu membuat hati Lucie menghangat. Zoya menggodanya. Yang artinya dia tak marah lagi padanya.

Sedari tadi, cewek itu selalu membuang muka saat bertatapan dengan Lucie. Permasalahan itulah yang membuat suasana hati Lucie tambah buruk. Sudah terjebak dalam rencana konyol mereka, pakai acara dimusuhi sahabat sendiri pula!

Namun tidak untuk sekarang. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Mungkin satu-satunya hal yang berguna dilakukan saat ini adalah mencoba untuk tidak menyesali keberangkatan ini.

“Cie udah balikan!” goda Sargas sambil tersenyum miring. “Ya gitu kek, akur. Kalian kan sahabatan udah lama. Masa gitu aja berantem.”

Lucie memutar bola matanya. Sementara Sargas sudah sepenuhnya menghadap Lucie. “Lagian, Zoya itu niatnya baik loh. Dia rela bela-belain ngelakuin segala hal buat bantuin lo, nemenin lo. Sekalipun lo nolak dia. Keren kan? Beda sama gue. Kemana pun mah gue tetap ada buat lo, Lu haha.”

Duk!

Satu lagi tendangan maut.

🚀🚀🚀

Rintik-rintik air yang berubah guyuran hujan deras terlihat lewat jendela besar perpustakaan. Udara dingin mulai terasa. Suara air yang jatuh makin terdengar keras. Namun, cowok itu masih terlelap di tempatnya.

Alih-alih, sepertinya hal itu membuatnya nyaman. Terbukti nafasnya masih teratur. Beberapa kali dia mengubah posisi kepalanya yang disangga oleh lipatan tangannya di atas meja. Nafasnya teratur.

Lucie menghela napas. Sebenarnya, bukan keinginannya untuk berada dalam situasi canggung seperti ini. Di mana dia terdiam di tengah sepinya perpustakaan sembari menunggu hujan reda, ditemani cowok asing yang asik tidur di depannya—meskipun dalam keadaan mata tertutup pun.

Lucie merutuki dirinya. Andai saja dia tidak lalai mengatur waktu pulang agar tidak kebablasan karena tenggelam oleh buku yang dibacanya, mungkin saat ini dia tidak perlu cemas menunggu redanya hujan selama dua jam seperti ini.

Jam sudah menunjukkan pukul lima. Lucie mendadak lemas. Dia tidak membawa ponsel sekarang. Kalau pun membawa juga siapa yang akan dia hubungi? Orangtuanya sedang keluar kota. Sementara Kak Dita? Dia tidak bisa mengendarai kendaraan sama sekali. Sekali pun pesan ojek online juga percuma, kuotanya lagi sekarat.

Saking cemasnya, Lucie tidak sadar tangannya menyenggol vas di meja. Meskipun vasnya bukan dari bahan beling, beserta isinya yang bukan tumbuhan sungguhan, suara yang ditimbulkan mampu membangunkan cowok di depannya.

Dia terduduk sambil menguap. Tangannya mengucek matanya yang merah. Serasa pandangannya fokus, tatapannya langsung tertuju pada Lucie dengan tangan memegang vas. Sadar, dia celingukan sejenak. Lalu menoleh lagi ke arah Lucie.

“Maaf, saya nggak sengaja bangungin kamu,” katanya hati-hati.

Mata cowok itu menyipit ke arah seragam dan wajah Lucie. “Lo kelas tujuh, ya? Kok belum balik?”

“Nunggu hujan reda.”

Cowok itu menatap hujan sesaat, lalu melirik arlojinya. Dia menepuk keningnya. “Ketiduran nih. Jadi nggak sadar kan. Terus lo pulang naik apa?”

“Nyari angkutan umum.”

“Rumah lo di mana?” tanya cowok itu seraya merapikan buku-bukunya ke dalam tas.

“Kok kepo?” sahut Lucie tanpa berpikir.

Cowok tadi menghentikan aktivitasnya. Tatapan datarnya tertuju ke arah Lucie. “Lo nggak serius mau pulang sendirian kan? Bentar lagi maghrib loh. Kenapa nggak sekalian bareng aja? Gue nggak tegaan kalau lihat cewek malam-malam pulang sendirian.”

“Tapi—”

“Udah, bareng aja,” sela cowok itu. Dia mengeluarkan dompet, ponselnya. Menyerahkan barang itu ke Lucie. “Bawa ini, jaga-jaga kalau misal lo gak percaya gue. Ntar kalo macam-macam, lo bisa bawa lari nih duit sama hape buat cari bantuan. Gimana?”

Lucie menggigit bibirnya. Cowok dengan potongan rambut miring serta bermata hitam tersebut benar. Lagipula, dia tidak ingin lama-lama di sini. Perlahan, dia mengangguk dan mengambil barang-barang itu. “Maaf ngerepotin.”

“Biasa aja. Nama lo siapa?”

“Lucia.”

Cowok itu tersenyum. “Gue Rei. Kelas delapan. Lain kali, kalau ketemu gue, jangan parnoan gitu. Biasa aja mukanya.”

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang