d u a p u l u h e m p a t

114 13 2
                                    

⚫⚫⚫

GUNTING batu kertas yang menang berarti dia duluan, ya?” pinta Zoya sambil memasang ekspresi imutnya. Di lehernya, sudah sedia handuk yang ia belitkan di sana.

Lucie berputar untuk menghadap Zoya. Dia menaikkan alisnya sebelah. Aneh, karena biasanya dia terlalu cuek soal urutan siapa dulu yang mandi. Dia pun tak mempermasalahkannya kalau dia selalu yang terakhir.

Lucie menggeleng. “Lo kan lama kalau mandi.”

“Enggak! Seriusan kali ini enggak! Ayolah!” ujar Zoya langsung, terdengar berlebihan. Ditambah lagi gesturnya yang sampai menyatukan telapak tangannya seperti memohon. Oh, jangan lupa kakinya yang bergerak terus menerus.

Dia buru-buru? Mau ngapain?

“Terserah lo,” setuju Lucie. Mereka tampak bersiap, mengeluarkan ancang-ancang. Tidak lupa menyiapkan senjata apa yang akan digunakan nanti.

“Gunting, batu, kertas!”

Batu melawan gunting.

Seketika Zoya mendengus kesal. Terlihat dia ingin protes, namun urung karena mengakui kekalahannya. Lucie tersenyum. Pasti ada sesuatu. Akhirnya Lucie mengangkat bahunya.

“Lo duluan aja,” putusnya. Langsung saja mata Zoya membelalak, seperti hendak mengatakan 'seriusan-lo?'. Mata cewek itu berbinar kala telepati lewat matanya dibalas anggukan. “Yaudah, sih, sana. Berlebihan banget.”

Lucie berjalan mendekati kasur, mengambil duduk di tepiannya. Dia menatap nakas meja untuk memastikan letak ponselnya. Kemudian tatapannya bergeser ke arah tas miliknya. Ujung botol tampak menyembul dari sana. Kontan Lucie meraih botol tersebut.

Botol itu sama persis seperti botol yang sering ia saksikan di film dongeng. Seukuran botol yang biasa dipakai untuk menjual bensin eceran. Bedanya, botol yang ia pegang terbuat dari plastik. Di ujung, digunakan kayu kecil sebagai penutupnya.

Di dalamnya, terlihat kertas bertuliskan 'You get message from me'.

Lucie tersenyum mengingat momen itu. Pipinya menghangat, dadanya berdebar kencang—perasaan yang sama persis seperti yang terjadi di taman tadi.

“Gue naik di belakang aja, ya,” ujar Lucie. Sargas hanya bergumam untuk menyahut ucapan Lucie. Perlahan dan hati-hati Lucie memijakkan kakinya pada balok kecil yang sengaja dipasang di sebelah ban. Tangannya mencengkeram pundak Sargas, dengan salah satunya yang memegang tali-tali balon.

Awalnya, mereka terlihat santai dengan menyanyikan sebuah lagu bersama-sama.

Namun, pegangan Lucie makin erat kala melewati jalan menurun. Otomatis sepedanya bergerak cepat, membuat Lucie menjerit. Bukannya menyuruh Sargas mengerem sepedanya agar tidak terlalu cepat, Lucie sangat menikmati momen ini. Dia bahkan tertawa kala Sargas melakukan rem mendadak yang membuat tubuh Lucie terdorong ke depan.

Sampai berada di jalan turunan yang kali ini tak terlalu menurun, sesuatu tiba-tiba memasuki matanya. Lucie mengucek matanya yang terasa perih hingga tak sadar melepaskan balon-balon yang dipegangnya. Dia akhirnya menyuruh Sargas berhenti.

Usai mengucek-ngucek pun mata Lucie tetap perih, dan sampai mengeluarkan air mata. Sargas menahan tangan cewek itu, dan menarik wajahnya mendekat. Dia menatap mata Lucie lekat-lekat, baru setelahnya dia meniup mata itu.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang