s e b e l a s

122 22 0
                                    


⚫⚫⚫

LUCIE terbangun dari tidurnya. Dia menatap kanan dan kirinya. Suara angin dari luar, dan suara orang bercakap-cakap terdengar di telingannya. Ia mulai sadar kalau dia masih di pesawat.

Jantung Lucie berdetak keras. Masih teringat jelas akan mimpi tentang pertemuan pertamanya dengan Rei barusan. Di mana saat perjalanan, dia mati-matian menahan perasaan asing yang menyelinap di hatinya. Reinaldi Pratama. Cowok dengan sejuta pesona yang mampu meluluhkan hati Lucie dalam sekejap.

Bisa dirasakan tangannya gemetar karena efek yang ditimbulkannya. Dan sekarang, dia dalam perjalanan untuk menemuinya. Menemui si pemilik hati.

Dia menoleh, menemukan Sargas tengah termenung seraya menyilangkan tangannya, menghadap jendela milik deret penumpang di sebelahnya. Tatapannya menerawang, entah apa yang dipikirkan cowok itu.

Sejenak, Lucie bertanya-tanya, kemana hilangnya cengiran jenaka dan tatapan jahil yang biasa ditunjukkannya? Dia pun seperti merasa tak melihat pantulan dirinya di kaca.

Sedetik kemudian Sargas berbalik. Cowok yang kerap kali memakai bandana tersebut terkejut melihat Lucie. Namun dia tersenyum—tipis, bukan senyuman menggoda atau lainnya. “Lo kok udah bangun? Cepet amat, baru tujuh menit.”

Lucie tak menjawab, meskipun dia sedikit takjub Sargas menghitung lamanya dia tidur.

Sargas memiringkan wajahnya. “Kenapa sih? Ada yang salah, ya?” tanyanya. “Tunggu, muka lo pucat. Lu, lo sakit?” Ia menyenggol siku Lucie, membuat cewek itu tersentak dan mengalihkan pandangannya.

“Nggak.”

Sargas ikut merilekskan punggungnya. “Oh, oke.”

Lucie tak berkomentar. Ia menyandarkan kepalanya di jendela, menatap gumpalan awan-awan hitam sembari melipat tangannya.

“Lulu—”

“Kenapa sih, lo mesti panggil gue kayak gitu?” sela Lucie dengan lirikan.

“Karena gue nggak manggil lo Lucie—ups!” Sargas menutup mulutnya guna mengantisipasi datangnya musibah. Duh, kenapa sih, Sargas jadi nggak fokus gini! “Karena ...,” ia berpikir sejenak. “Panggilan Lulu tuh lucu aja. Belum lagi, mirip kayak nama adik gue Lala. Lulu, Lala. Keren kan?”

Lucie memutar bola matanya.

“Tumben nggak ngomel?” tanya Sargas tertarik.

“Bukan urusan lo.”

Tapi Sargas masih penasaran. “Kenapa sih, bawaannya selalu jutek mulu kalau sama gue? Atau sama lainnya juga begitu?”

“Biasa aja. Cuma sama lo doang gue begitu. Harusnya lo sadar, sih. Mana ada cewek yang merasa baik-baik aja saat didatangin salah satu tokoh sampah sekolah,” tandas Lucie kejam.

“Tapi kan gue nggak pernah aneh-aneh Lu. Sekalipun bandel juga gue nggak pernah berantem tuh. Paling ya kalau nggak bolos, ketahuan nyontek, godain guru, nilai jelek, yaa ngerusakin properti sekolah.” Melihat Lucie tak merespon, Sargas menghela napas. Mungkin belum saat dia percaya apa yang Sargas katakan. “Gue minta maaf.”

“Atas semua perbuatan gue yang bikin lo terganggu, terutama ucapan gue waktu itu. Gue salah banget karena menghakimi orang seenak jidat gue.”

Lucie mengangkat bahu. “Lo minta maaf juga selamanya tetap gangguin gue kan?”

“Sayangnya, iya.”

“Dan nggak perlu minta maaf soal ucapan lo waktu itu. Lo bener. Tapi sayangnya, gue nggak berniat ngerubah kepribadian gue yang satu itu.”

“Kenapa?”

“Kalau nggak penting buat lo tahu. Nggak usah tahu,” ketus Lucie.

“Kalau gitu, coba anggap gue teman lo. Nggak susah kok buat berteman. Lagian kan itu satu-satunya cara biar lo nggak terganggu akan kehadiran gue.”

Lucie menoleh, bisa dilihat sorot keseriusan dalam manik Sargas. Sorot yang anehnya dapat membuat Lucie mempertimbangkan perkataan cowok itu.

🚀🚀🚀

“Lo kenapa berangkatnya pakai acara kabur tadi?”

Alih-alih menganggapi pertanyaan Sargas, Lucie lebih tertarik untuk tenggelam pada buku Filosofi yang dibacanya.

“Kayaknya gue tahu, lo pasti takut nggak dibolehin sama orangtua lo kan? Atau, lo belum siap ngomong alasan lo sebenarnya karena takut dibilang masalah sepele,” lanjut Sargas, masih berusaha mengalihkan perhatian Lucie. Beberapa saat dia menunggu, senyumnya luntur. Cewek itu masih belum goyah.

Bagaimana pun, Sargas nggak mungkin harus merampas bukunya. Nggak gentleman banget dong!

Sargas memusatkan perhatiannya pada Lucie. Cewek itu memiliki wajah putih bersih, bibirnya tipis kemerahan, hidungnya nggak terlalu mancung dan nggak terlalu ke dalam juga. Bentuk alisnya sempurna. Matanya bulat. Rambutnya ikal seleher. Keseluruhan, Lucie itu manis, dan lucu. Tapi, entah kenapa, kalau lagi marah itu loh, galak banget. Terutama mulutnya nggak bisa dikontrol.

Membayangkannya membuat seulas senyum Sargas terbit.

“Gue yang nggak ada orangtua aja bersyukur loh. Seenggaknya ada Tante sama Om gue yang mau ngerawat gue dan Lala,” Sargas memulai ceritanya. Intonasinya ringan, seperti sudah biasa akan kenyataan itu.

“Dan sebisa mungkin, gue bakal ngelakuin apa aja buat nggak ngecewain mereka. Yah, nggak sepenuhnya sih, karena gue sering bikin mereka hadir ke sekolah karena ulah gue. Haha, bahkan Lala pun ikut ngomelin gue. Terus ngambek, ngediamin gue seminggu. Tega ya dia? Omong-omong soal Lala, duh, jadi kangen. Jam segini pasti masih tidur dia. Pas subuh, pasti dia rusuhin kamar gue buat ngajak sholat jama'ah.”

“Tapi enggak ah. Gue kan udah pamitan kalau gue pergi. Meskipun begitu, gue tetap aja khawatir. Lala kan mengidap asma sejak kelas dua SD.”

Tanpa Sargas sadari, Lucie sedari tadi menyimak ceritanya. Tulisan-tulisan di depannya seolah mengabur tanpa dikehendaki, hanya indra pendengarannya yang berfungsi lebih tajam. Lucie seperti hanyut dalam cerita itu. Ingin dia bertanya lebih lanjut kalau saja dia tidak berniat diam saja.

Pernah nggak sih lo diajarin sama orangtua lo kalau nguping itu nggak sopan?

Mendadak rasa penyesalan menyerang. Seharusnya dia tidak mengatakan itu.

Sebuah sikutan di tangannya menyentakkan Lucie dari pikirannya. “Lo nggak dengerin gue ya? Wah tega lo, Lu!”

Sargas melongo mendapati Lucie masih tidak bereaksi. Dia hanya membenarkan bukunya yang oleng dan kembali membaca. Garis bawah, kembali membaca. Ya Allah! Ini pasti berhubungan dengan komitmen cewek itu untuk mengabaikan Sargas beberapa hari yang lalu.

Dengan itu, Sargas memilih jalan alternatif lain. Yaitu merebut bukunya. Masa bodoh dia nggak gentle. Titel gentle juga nggak bikin Lucie menanggapinya. Selama ada celah, pepet aja!

“Apa sih?! Balikin!” bentak Lucie dengan tangan yang berusaha menjangkau buku Filosofinya.

Sargas makin menjauhkan buku Lucie dari jangkauan cewek itu. “Et, et, jangan dekat-dekat, kalau nggak sengaja kecium bukan salah gue loh.”

Seketika Lucie terdiam. Dia kembali ke posisinya. Orang caper mah biarin aja. Ntar, juga dibalikin, pikirnya.

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang