d u a p u l u h l i m a

118 15 0
                                    

⚫⚫⚫

IYA, gue sudah selesai lesnya,” kata Lucie, ia menjepitkan ponselnya di antara pipi dan pundak. Sementara tangannya mengemasi buku-bukunya.


Terdengar sahutan dari seberang telepon, Kak Dita. Katanya, dia akan sampai lima belas menit lagi, yang langsung membuat Lucie menatap jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam itu. Dia mengangguk, tak sadar kalau lawan bicaranya dapat melihat anggukkannya itu.

“Gue tunggu,” tutup Lucie. Dia berjalan keluar kelas. Matanya mengedar ke jalanan sekitarnya yang tampak sepi dari kendaraan yang berlalu lalang.

Lucie menguap, memilih untuk menghampiri bangku terdekatnya. Rasanya membosankan berada di tempat sepi seperti ini.

Entah dari mana arah datangnya, seseorang tiba-tiba menubruk tubuh Lucie. Cowok itu tersadar, langsung membantu Lucie yang limbung tersebut. Dia nampak tergesa-gesa. Namun, matanya sempat menyipit kala melihat langsung wajah Lucie.

“Lo anak SMA Kasuari kan?” Lucie lebih dulu menyuarakan keganjilannya.

Cowok di depan Lucie mengangguk. “Dan lo juga,” katanya. Tak berselang lama, suara teriakan terdengar. Membuat cowok yang tidak Lucie ketahui namanya itu langsung panik. Dia celingukan, akhirnya dia memilih bersembunyi di pohon belakang Lucie.

“Bantuin gue, ya? Jangan bilang kalau gue di sini,” kata cowok itu dengan wajah memelas.

Tentu Lucie masih bingung. “Kenapa? Lo dikejar siapa memang?”

“Ya pokoknya—”

“SARGAS, JANGAN LARI LO!”

Lucie terkejut, begitupun cowok tadi. Segera saja dia tahu kalau cowok itu bermasalah dengan orang-orang yang meneriakinya barusan. Tak lama, datang segerombolan laki-laki yang usianya terpaut tujuh tahun lebih tua dibanding dirinya.

Tubuh Lucie langsung keringat dingin, dia akan berhadapan dengan berandalan berwajah sangar setelah ini. Apalagi, mereka semakin dekat dengan posisi Lucie.

“Lo lihat cowok yang lari-lari lewat sini?” tanya salah satu dari mereka kepada Lucie. Mereka berdiri dekat dengan Lucie, membuat Lucie bisa melihat senjata berbahaya yang mereka bawa.

“Enggak lihat tuh.” Lucie berusaha membuat suaranya senormal mungkin untuk menutupi tubuhnya yang gemetar itu.

Cowok tadi menyipitkan matanya. “Gue tadi lihat lo ngobrol sama orang.” Wajah Lucie memucat, dia tak dapat mengatakan apa-apa. “Nggak usah bohong ya lo. Dimana Sargas?”

Lucie menggeleng.

Tiba-tiba cowok itu tersenyum miring, ide licik terlintas di kepalanya. Dia meraih tangan Lucie hingga tubuh cewek itu menubruk dadanya. Sebuah pisau dia todongkan di leher Lucie, hingga Lucie menjerit.

“SARGAS JANGAN NGUMPET LO! GUE TAHU LO DI SINI. CEPET KELUAR ATAU CEWEK INI BAKAL ABIS DI TANGAN GUE.”

Tak ada sahutan. Hingga cowok tadi kembali berteriak. Sementara adegan itu berlangsung, cairan bening sudah mengucur deras dari mata Lucie. Dia ketakutan. Dia ingin pergi dari sini. Dia terus berdoa agar seseorang dapat membantunya saat ini.

Pada peringatan terakhir, akhirnya, saat-saat yang ditunggu cowok yang bersembunyi itu—Sargas—menampakkan dirinya. Dia tersentak kala irisnya bertemu dengan milik Lucie. Lalu wajahnya memerah menahan amarah kala matanya bertemu dengan orang di belakang Lucie.

“Lepasin dia. Jangan jadi pengecut lo.”

Lagi-lagi, cowok yang memiliki codet di pipinya itu tersenyum miring. “Dia cewek lo?”

“Bukan urusan lo. Sekarang gue bilang lepasin, atau gue—”

“Lo mau apa?” potong cowok tadi. “Pilihan lo cuma satu. Nyerah. Nggak ada pakai ngancam segala. Yon, Raf, tangkep dia.”

Langsung saja Sargas melayangkan pukulan keras pada cowok yang hendak menahannya itu. Kemudian dia memutar pergelangan cowok yang satunya, diakhiri dengan Sargas yang menendang punggung cowok tadi sampai tersungkur.

Hal yang tak pernah Lucie sangka adalah, setelahnya, Sargas langsung lari. Iya, kabur begitu saja. Sontak rasa marah, kecewa, menyesal karena menolong cowok itu berkecamuk. Begitu pula cowok yang menahannya. Dia terlihat murka.

Saat ada kesempatan, Lucie langsung menggigit tangan cowok itu dan segera meraih pisaunya. Membuat terkejut orang-orang yang di sana. Namun, tatapan terkejut mereka tak berlangsung lama dan berganti dengan tatapan menggoda kala Lucie menodongkan pisaunya.

“Jangan deket-deket!” ancam Lucie. Dia masih menodongkan pisaunya. Tak sadar bila seseorang di belakangnya tiba-tiba merebut pisau yang dipegang Lucie. “Lo—”

“Cewek ini manis juga, Bos. Berani pula. Daripada ngejar-ngejar si Sargas, gimana kalau kita mikir ini cewek enaknya diapain.” Tanggapan itu langsung saja menuai persetujuan dari mereka semua. Bahkan, salah satu dari mereka ada yang berani mencolek dagu Lucie yang langsung saja Lucie tepis dengan kasar.

“Jangan sentuh-sentuh gue atau gue bakal lapor kalian ke polisi!!” jerit Lucie.

Yang lain hanya cekikikan, seolah menganggap ancaman Lucie hanyalah angin lalu. Saat mereka bergerak semakin dekat. Tiba-tiba terdengar suara sirene.

“Itu Pak, orang mau berbuat kejahatan di sini!”

Orang-orang di sekitarnya langsung berlarian, diikuti dengan banyaknya polisi yang bertindak serupa untuk mengejar mereka. Lucie langsung terduduk, tangisnya pecah. Kemudian, seseorang yang mulai detik ini benci datang menyentuh pundak Lucie.

“Lo nggak papa?” tanyanya dengan khawatir.

Lucie berdiri setelah menyentak tangan Sargas. Dia menatap dengan sorot permusuhan yang mendalam. Ya, dia memang tak lari begitu saja, dia juga telah menolong dirinya. Namun, itu bukan alasan bagi Lucie untuk berterima kasih kepalanya.

Entah sampai kapan rasa benci itu berlanjut, yang jelas dia ingin menjauh dari orang yang menyeretnya ke dalam masalah seperti ini.

****

Btw, ini flashback awalan yang bikin lucie sebegitu bencinya sama sargas. Sengaja dibikin part beda. Karena isinya banyak. Juga sengaja ngga di italic karena gue ngga mungkin ngemiringin teks sebanyak itu. Kayak... Nggak enak dong baca miring2 gitu. Sakid ke mata

You Get Message From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang